|
Pada
awal abad ke 17, tepatnya pada tahun 1729 ketika FOE MBURAdiangkat
dan dilantik menjadi Raja Nusak Thie ke V (1729 – 1746)
menggantikan ayahnya MBURA MESA, Raja Nusak Thie ke IV (1685 – 1729)
saat itupun seiring dengan pemimpin militer Inggris yang terkenal dan brilian
(Oliver Crom Well), dimana pada saat itu negeri terselatan Asia Pasifik ini
di bawah jajahan kerajaan Balanda, sungguh berada dalam suatu keberadaan yang
sangat memprihatinkan karena masyarakat pribumi di negeri terselatan Asia
Pasifik ini belum mengenal huruf, belum tahu membaca dan menulis bahkan jauh
tertinggal dan belum mempercayai adanya Tuhan Allah Tri Tunggal (senantiasa
menyembah berhala/Dintiu),
sehingga sering terjadi peperangan dan pencurian serta pembunuhan antar Suku
dan antar Nusak/Kerajaan yang menelan banyak korban baik manusia maupun harta
benda.
Pada
saat akhir masa jabatan Raja ke IV, Mbura Mesa (ayah FOE
MBURA), beliau mendapat sebuah tongkat berkepala perak dari Pemerintah
Hindia Belanda (VOC) dengan tulisan POURA MESA RADJA VAN
THIE 1726 karena berhasil memimpin Kerajaan Thie saat
itu dan dapat menekan pemberontakan, Pencurian, Pembunuhan dan peperangan
antar suku/Nusak di kerajaan Thie khususnya.
Dengan
demikian setelah FOE MBURA (Raja ke V) Nusak Thie dilantik,
yang adalah anak dari Mbura Mesa (Raja ke IV), Ia
merencanakan dan berupaya agar kedepan Rakyatnya keluar dari keadaan seperti
apa yang dialami kakaknya Mbura Mesa, bahkan lebih dari itu ia
sendiri memiliki suatu pandangan yang jauh ke depan yang cukupbrilian dan spektakuler dimana
ia menginginkan rakyat Nusak Thie bahkan rakyat Nusa Lote pada umumnya dapat
hidup sehat, aman, damai, sentosa, makmur serta dapat mengenal huruf, bisa
membaca, menulis, berhitung dan percaya adanya Tuhan Allah Tri
Tunggal sehingga tidak buta huruf, tidak mencuri, tidak membunuh,
tidak berperang lagi antar sesama Suku serta hidup rukun, aman, damai, makmur
dan sentosa di dalam Nusak yang diartikan dalam bahasa ibu (Sangga Ndolu
sio, ma tungga lela falu) seiring dengan ilmuwan terkemuka ( Matematika)
saat itu di Inggris yakni Isaac Newton.
Atas
dasar pemikiran dan pandangan di atas maka pada Medio 1729 FOE MBURA berupaya
membuat sebuah bahtera/perahu yang mirip dengan kapal Nina,Pinta
dan Santa Maria (Pinisi) di abad ke 15 yang dibantu oleh
orang Sulawesi (Bugis – Makasar) dan diberi nama Sangga Ndolu (Cari
Damai) mana kala nama itupun diberikan oleh seorang anak gembala
bernama Resi Boru.
Untuk
diketahui pula bahwa seiring berjalannya waktu setelah bahtera tersebut
dibangun, maka pada medio 1730 berangkatlah 25 anak negeri Nusak Thie
termasukNdi’i Hu’a (Raja Lole/sebagai
kunyadu/ipar kandung FOE MBURA) dan Tou Dengga
Lilo (Raja Ba’a) serta Ndara Naong (Raja
Lelain) dimana keduanya sebagai anak
mantu FOE MBURA termasuk Pandi Mbura yang
adalah adik kandung FOE MBURAdan dibawah pimpinan FOE
MBURA memulai pelayaran perdana ke Batavia melaluiPelabuhan OEmasik sekarang Sangga
Ndolu selama lebih kurang dua Bulan Perjalanan dan dalam pelayaran
tersebut ikut pula (Resi Boru) sang pemberi nama bahtera tersebut
dalam misi pencari damai ke Batavia (Matabi/dialeg Thie)
Jakarta sekarang.
Di
dalam pelayaran perdana tersebut sebelum bahtera Sangga Ndolu tiba di
pelabuhan Batavia bahtera tersebut menyinggahi sebuah pulau
kecil yang mirip dengan pulau Rote karena terdapat juga banyak pohon lontar
(tuak) yang ada di Nusak Thie/Nusa Lote yang adalah merupakan Pohon
Kehidupan (Tree of live) bagi orang
Rote, maka turunlah beberapa orang untuk melihat keadaan pulau tersebut
termasukPandi Mbura (adik FOE MBURA) sambil
mencari sumber air untuk menambah persediaan menuju pelabuhan harapan Batavia
dan ternyata Pandi Mbura merasa tertarik
akan pepohonan lontar yang ada disana lalu berdiamlah Pandi Mbura di
Pulau tersebut yang namanya Pulau Sabu (Nusa Savu) dan tidak mau mengikuti
rombongan kakaknya ke Batavia, hingga sekarang dimana salah satu turunannya
adalah keluarga Riwu Kaho dari oyangnya Pandi Mbura (Padi Bura/dialeg Sabu)
maka waktu itulah FOE MBURA kehilangan seorang adik kandung.
Dikala
misi pencari damai itu tiba di Batavia, FOE MBURA bertemu
dengan Gubernur Hindia Belanda saat itu (Gubernur Jenderal Mr. Diria Van
Cloon) dan ia melaporkan tentang keadaan dan keberadaan rakyat nusak Thie
khususnya dan rakyat Rote pada umumnya yang masih sangat
miskin, bodoh, buta huruf, tidak berpendidikan dan belum mengenal ALLAH
TRI TUNGGAL sehingga senantiasa terjadi pencurian, pembunuhan dan
peperangan antar suku dan nusak yang banyak menelan korban jiwa
dan harta benda. Alhasil kedatangan mereka disambut baik oleh Pemerintah
Hindia Belanda di Batavia dan kepada FOE MBURA di
bekali Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Pemerintahan serta pengetahuan akan Injil (Kepercayaan
kepada Jesus Kristus)sebagai bekal untuk melanjutkan dan meningkatkan
taraf hidup rakyat Thie pada khususnya dan Rote pada umumnya. Selama berada
di Batavia tepatnya pada bulan purnama di medio tahun 1732, FOE MBURA di
baptis oleh Tuan DIDERIK DURVEN(Pendeta Belanda) dengan nama
Benyamin Messakh dan pada akhir tahun 1732 anak-anak pencari damai dari
negeri terselatan Asia Pasifik ini dibawah pimpinan Raja ThieFOE MBURA mengangkat
sauh/jangkar dan mengepak layar bahtera Sangga Ndolu
bertolak kembali menuju Nusa Fua Funi, Nusa Ndalu Sita, Nusa Lote tercintadengan
membawa seperangkat Ilmu Pengetahuan dan Rohani berupa Alkitab/Injil,
Buku Tulis, Batu Tulis dan alat tulis (mata pena/kapur tulis), tinta, sebuah
meriam, sebuah kursi Raja, sebuah Tongkat berkepala Emas dan 2 (dua)
buah lonceng gereja yang sampai saat ini masih
dipergunakan oleh Gereja TudamedaNusak Thie dan Gereja
Menggelama Nusak Ba’a sebagai pemberian dan tanda terima kasih
Pemerintah Hindia Belanda atas kunjungan anak negeri terselatan Asia Pasifik
tersebut.
Pada
saat keberangkatan bahtera dan rombongan anak negeri dari Batavia untuk
kembali ke Nusa Lote, ditinggalkanlah seorang anak negeri yang juga adalahKepala
Suku Kana Ketu yang dijadikan sebagai tumbal untuk
kembalinya rombongan pencari damai dari Batavia ke Nusa Lote, karena pada
saat keberangkatan ke Batavia dari Pelabuhan OEmasik/Sangga Ndolu, seorang
anak gadispun (Pingga Ngga) telah
dijadikan sebagai korban persembahan atau tumbal untuk
keberangkatan misi itu ke Batavia, namun sebelum bahtera dan rombongan anak
negeri tersebut tiba di Pelabuhan Sangga Ndolu Rote, yang namanya Kepala Suku
Kana Ketu yang ditinggalkan di Batavia untuk
menjadi tumbal persembahan di maksud, telah berada pula di
Pelabuhan Sangga Ndolu dan menurut ceritera legenda, yang bersangkutan mempergunakan
ikan hiu sebagai alat transportasi, sehingga sampai dengan saat ini keluarga
dari Suku Kana Ketu tidak memakan daging ikan hiu (Sang penolong bagi suku
Kana Ketu), dan ternyata sebagai pengganti tumbal kepulangan rombongan ke
Nusa Lote/ Pelabuhan Sangga Ndolu adalah satu-satunya anak kandung / Putera
Tunggal Raja FOE MBURA(Henu FoE) yang menjadi korban
(meninggal dunia).
Oleh
karena itu pada saat bahtera tersebut merapat di Pelabuhan Sangga Ndolu,FOE
MBURA tidak rela untuk turun dari bahtera tersebut ke Nusa Fua Funi
/ Pelabuhan Sangga Ndolu, karena ia mendengar kabar bahwa
putera tunggal satu-satunya (Henu Foe) telah
di panggil Sang Pencipta, maka isak tangis FOE MBURA dan
semua anak negeri di bahtera sangga Ndolu tersebut terdengar sampai ke bibir
pantai Sangga Ndolu dan juga para tua-tua adat, maneleo, sanak keluarga dan
masyarakat Thie yang berada di Pantai/Pelabuhan Sangga Ndolu yang dirundung
mendung kelabu serta diselimuti isak tangis yang merebak di
sepanjang pantai Fiulain sambil terdengar tuturan adat yang memilukan dari
hati seorang Raja FOE MBURA karena kehilangan adik
kandungnya dan juga putra tunggalnya dengan tuturan
adat sebagai berikut : “Balun neu tungga baukoli, ma
neu sangga tui sina, de balun ana di’u dua, te lurik neni mbule ulu, ma
sangga neni boa sosan, de nasakedu ma mamatani boa sosan ma mbule ulu” yang
artinya “Pada saat kami berangkat ke Batavia adik saya Pandi Mbura turun di
tanah orang (pulau Sabu) dan terpisahlah dari rombongan kami (saya kehilangan
adik Pandi Mbura), dan kini saat kami kembali dan
tiba di nusa fua funi, anakkuHenu FoE dipanggil
kembali ke pangkuan Sang Pencipta (saya kehilangan lagi anak kandung),
mungkin Tuhan tidak mengijinkan saya untuk kembali lagi di Fiulain Nusak
Thie, jadi biarlah saya bersama dengan semua anak negeri yang berada di dalam
bahtera ini melanjutkan perjalanan kami entah kemana di bawa angin dan
desiran ombak, mungkin kesanalah akan kami melabuhkan bahtera kami,
…………… n a m u n ……………
semua
tua adat, tokoh masyarakat dan anak-anak
di NUSAK THIEmembunyikan nafiri (Toik), Tambur
(Labu), Gong (Meko) disertai
tangisan yang keras dengan tuturan adat yang
mengatakan: “ Boso masake’du ma boso mamatani, te Pandi Mbura ana
sambu, ma Henu FoE ana lalo, te hu bei ela falu ina nusak thie, ma ana mak
inggu sepelangga, de bei ramahena neu ba’u koli, ma rakabani neu tui sina, de
hema metipinu ma hari mama’da o lun, te ha’dak nae o sama leo
lamatuak, ma amak, ma meser de konda leo, fo ko’o malan ka’a fadi, te’o ina,
ma ifa mala falu ina ma ana mak, fo leo be na, lamatuak fe
baluk mai tia meti fo konda ela baluk leo, te ta na ai basan dadi neu ana mak
sama leo koana sepelangga, ma ai falu ina deta leo nggia ana timu dulu,
de neu ko ai neni ndundu tofak, ma ai sambu lalo, de konda
leo lamatuak susuek” artinya bahwa
kalau Tuan tidak turun di Nusa Fua Funi Nusak Thie, maka
pasti kami akan kehilangan seorang ayah, Raja, Guru dan Pelaut
juga sebagai pengayom dan pelindung anak-anak negeri Nusak Thie dan akhirnya
kamipun akan menjadi piatu dan tidak mempunyai ayah, Raja dan Guru serta
apa-apa lagi dan pada gilirannya kami semuapun akan susah sengsara dan mati
nantinya”.
Setelah
sang Raja mendengar rintihan dan tangisan anak negeri yang disertaiToik,
Tambur dan Gong di Fiulain, tersentaklah dan luluh lantahlah hati
sang Raja, maka dengan hati yang penuh duka cita yang dalam, turunlah Sang
Raja yang diusung diatas sebuah kursi yang dibawanya dari Batavia dan
disambut oleh Tokoh adat, 25 Tokoh Adat (Maneleo) Nusak Thie
bahkan sanak saudara di sertai bunyi to’ik, tambur dan gong serta
ratap tangis atas kembalinya FOE MBURA dari Batavia di nusa
fua funi Fiulain.
Selama
berada di Fiulain Nusak Thie, Raja FOE MBURA memulai
mengimplementasikan Ilmu Pengetahuan yang dibawanya dari Batavia dengan
membangun Sekolah umum dan Agama pertama di Fiulain pada akhir tahun 1732 dan
pada medio 1733 Pendidikan pertama di buka untuk kalangan anak-anak raja se
nusak Rote sebanyak 74 orang sedangkan pada tahun 1734 dibuka untuk kalangan
umum yang kemudian berkembanglah pendidikan dan injil secara luas di pulau
Rote, Timor, Alor, Flores, Sabu hingga saat ini.
Untuk
diketahui pula bahwa setelah sekolah Injil/Alkitab pertama di Fiulain pada
abad ke 18 tepatnya 1732, maka secara bertahap dan seiring perkembangan zaman
dan waktu berpindahlah sekolah Alkitab dari Fiulain ke Negeri Timor Tengah
Selatan (Soe) pada awal abad ke 19 dan sesudah itu berpindah lagi
ke Tarus Kabupaten Kupang dan di akhir abad 19 menjadi Sekolah Tinggi Theologia
di OEsapa Kota Kupang dan sesudah itu berkembang lagi menjadi Universitas
Kristen Artha Wacana Kupang (1985) hingga saat ini, sehingga di sinilah FOE
MBURA pantas dan layak dijuluki sebagai Raja, Guru dan
Penginjil (Pembawa berita Injil) dan Pelaut yang
unggul dari negeri terselatan Asia Pasifik (Nusa Sejuta Lontar, Rote Ndao
tercinta).
Oleh
karena itu kami anak cucu Nusak Thie pada khususnya dan anak cucu
Nusa Rote, (Nusa Sejuta Lontar) pada umumnya patut
memberikan Proficiatyang setinggi-tingginya kepada FOE
MBURA yang sudah berperan sebagai Raja, Guru, Penginjil (Pembawa
Injil), dan Pelaut yang unggul itulah inilah impian
yang brilian dan spektakuler FOE MBURA setelah ia
di lantik menjadi Raja ke V Nusak Thie benar-benar dapat tercipta dan berangsur-angsur
mengantar masyarakatnya keluar dari dunia yang gelap dan menjadi anak-anak
terang (FOE MBURA mendi manggaledok soa ita basa nai
nusa Rote/dialeg Rote), bahkan
banyak Pendeta dan Guru yang berkiprah sampai ke ujung
Nusantara ini adalah cikal bakal dari Fiulain yang di bawa dan disebar
oleh FOE MBURA dari Batavia.
Oleh
sebab itu tempat dimana kita berpijak saat ini di sini (Bukit Fiulain) patut
dijadikan sebagai momentum religius yang monumental yang
terkandung makna terdalam bagi Pertumbuhan Iman Kristiani khususnya
sehingga patutlah tempat yangberbasis religious ini menjadi destinasi
wisata Pilgrim / rohani di Indonesia
bagian Timur pada umumnya dan NTT pada khususnya, yang artinya ada
kaitannya dengan agama, sejarah, adat – istiadat dan kepercayaan
umat/sekelompok masyarakat atau masuknya injil di Pulau Rote.
Pada
akhirnya kami sebagai Penerus dan Penulis masuknya Injil ke Pulau Rote yang
di bawa oleh Moyang kami FOE MBURA, sungguh menyadari bahwa
kesempurnaan itu berada pada Yang Maha Kuasa dengan suatu harapan mungkin
goresan/tuturan hati Buyut FOE MBURA ini dapat menggugah dan
mengingatkan kembali etos kepahlawanan seorang FOE MBURA yang
adalah Raja, Guru, Penginjil dan Pelaut yang
unggul terhadap masyarakat Rote Ndao khususnya bahkan sebelum lahirnya NKRI
tercinta, semoga bermanfaat.
Demikianlah
sejarah singkat hadirnya Injil di Pulau Rote melalui gerbang selatan Asia
Pasifik, Fiulain Nusak Thie, Nusa Sejuta Lontar, Rote Ndao
tercinta.
Kiranya Tuhan Jesus memberkati.
Tua
su’uk-OEbafok, 07 Juni 2010
Buyut
FOE MBURA,
Jersy
Weltry Messakh
Wakil
Maneleo Mburala’e
|
GMIT LAHAIROI TUAKSABU LASIANA BARAT
Senin, 23 Maret 2015
SEJARAH SINGKAT HADIRNYA INJIL DI PULAU ROTE
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar