Selasa, 02 Desember 2014

Sejarah kota soe




Sejak didirikan pada tahun 1920 kota SoE terus mengalami perkembangan. Kota ini telah menjadi tempat berbagai golongan masyarakat berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Sejak awal pendiriannya, kota SoE bertalian dengan Raja Amanatun-Onam (Kerajaan-Zelfbestur Landschappen Amanatun), Raja Molo-Oenam ( Kerajaan-Zelfbesturr Landschappen Mollo), dan Raja Amanuban-Banam (Kerajaan-Zelfbesturr Landschappen Amanuban) dan kedudukan Raja-raja tersebut di kota ini.

Nama So’E sendiri berasal dari bahasa Timor ( uab meto) yang berarti timbah atau menimbah. Bermula dari patroli seorang tentara kolonial yang bertemu dengan seorang perempuan pribumi yang sedang menimbah air di mata air atau sumber air Oe Nakan ( yang kemudian disebut Oe Besi –kepala air karena sumber air ini digunakan pipa). Tentara kolonial ini menanyakan tentang apa nama tempat ini namun karena perbedaan bahasa dan dialog sehingga perempuan pribumi ini menjawab bahwa saya sedang menimbah air dengan menggunakan bahasa Timor ( uab meto) yakni au soe oe. Yang ditangkap oleh tentara kolonial ini adalah kata soe . Kemudian tentara kolonial ini melaporkan kepada pemimpinnya bahwa nama tempat yang ia kunjungi itu bernama SOE. Adapun nama tempat ini ( kota Soe) awalnya bukan bernama Soe tetapi Huemneo.

Kota SoE disepakati menjadi pusat pemerintahan onder affdeling Zuid Miden Timor karena Raja Molo Lay Akun Tabelak Oematan berkenan memberikan tanah di kota SoE ( kampung Amanatun ) kepada Raja Amanatun Kolo Banunaek untuk mendukung Raja Molo Lay Akun Tabelak Oematan untuk memilih dan menetapkan kota SoE sebagai pusat pemerintahan Zuid Midden Timor pada saat itu.

Pada saat itu pemerintah Hindia Belanda melalui kontrolir - conttrolirnya meminta kepada Raja Amanuban, Molo dan Amanatun untuk bisa menyepakati suatu tempat untuk dijadikan pusat pemerintahan Zuid Miden Timor. Raja Amanuban Pae Nope (Petrus Pae Nope) tetap berkeinginan untuk menjadikan kota Niki-niki sebagai pusat pemerintahan Zuid Miden Timor tetapi Raja Molo Lai Akun Tabelak Oematan ( W.F.H.Oematan) juga bersih keras untuk menjadikan kota Kapan sebagai pusat pemerintahan Zuid Miden Timor. Raja Amanatun Kolo Banunaek saat itu tidak bisa mengajukan pilihan karena wilayah Amanatun belum memiliki akses dan saat itu Niki-niki menjadi kantor bersama Raja Amanatun dan Amanuban. Akibat Raja Amanatun Kolo Banunaek ( Abraham.Zacharias Banunaek) mendukung Raja Molo Lay Akun Tabelak Oematan maka akhirnya kota Soe disepakati secara bersama oleh ketiga Raja ini untuk menetapkan kota SoE sebagai pusat pemerintahan Zuid Midden Timor.

Pola dan morfologi sosial mempunyai peranan penting dalam dinamika masyarakat kota SoE. Sejarah sosial kota Soe menunjukan proses penyesuaian ketiga kelompok penduduk kerajaan dalam situasi kolonial. Kampung Amanuban (yang kemudian menjadi kampung Sabu), Kampung Mollo yang kemudian sebagiannya menjadi kampung Rote) dan Kampung Amanatun merupakan kawasan-kawasan pembentuk kota Soe. Banyak kreatif maupun destruktif dalam hubungan dialektik dan komunikasi yang telah terjadi antara penguasa kolonial Belanda dan raja-raja sebagai pemerintahan pribumi lokal yang mengawali penetapan kota Soe sebagai pusat pemerintahan saat itu. Saat itu pusat kerajaan Amanuban di Niki-niki, pusat kerajaan Mollo di Kapan dan pusat kerajaan Amanatun di Nunkolo.

Secara terirotial maka pososi tiga pusat kerajaan yang berjauhan ini mengakibatkan pengawasan dan kontrol pemerintah Belanda kepada aktivitas raja raja ini menjadi tidak maksimal. Kota Soe yang sudah dikenal sejak tahun 1905 ini menarik untuk dikaji, karena dalam perkembangannya kota ini pada awalnya merupakan suatu tempat biasa yang hanya menjadi tempat berhenti dan melepaskan lelah dari berpergian yang tidak begitu menjadi perhatian namun kemudian ditetapkan menjadi kota yang diawasi oleh pemerintah Kolonial.

Ada dua kekuatan kepentingan yaitu kekuatan tradisional dan kekuatan kolonial bertemu di kota ini. Kurun waktu awal abad ke XX merupakan masa proses pasifikasi Hindia Belanda serta pengaruh politik dan ekonomi kolonial di pulau Timor dan taklukannya. Suatu proses yang menimbulkan perubahan dan pembauran.

Di abad XIX struktur politik ketatanegaraan cenderung ke struktur konfederasi. Merupakan konvensi yang harus ditaati oleh masing-masing kerajaan pribumi karena dalam politik kekuasaan raja-raja perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda lebih besar ditunjukan untuk menguasai orang dibandingkan dengan wilayah. Ini semata-mata menyangkut masalah harga diri dan bukan semata-mata penguasaan territorial.

Dengan mempelajari dan memahami perkembangan sejarah kota Soe diharapkan menjadi suatu referensi perbandingan dalam mempelajari jalur-jalur pertumbuhan dan perkembangan kota sebagi kesatuan sosial cultural . Hal ini penting karena kota adalah inti dalam system jaringan yang saling berkaitan dalam dinamika sejarah.

Dengan menggunakan konsep sejarah kota dengan memperhatikan karya-karya sejarah yang ada maka ada tiga pengertian yang saling melengkapi yakni :

1. Dalam pengertian sejarah masyarakat kecil terpinggirkan dan termarjinalkan yang sering melahirkan gerakan sosial yang luas spontan dan berakhir dalam waktu singkat

2. Karya yang menguraikan tentang keanekaragaman aktifitas dan fungsi manusia yang sukar untuk dikelaskan dalam istilah-istilah seperti kebiasaan, adat istiadat, atau kehidupan sehari-hari kota

3. Konsep sejarah sosial di kombinasikan dengan sejarah ekonomi kota.

Dari suatu kota yang sedang tumbuh dan berkembang kita dapat melihat sejarah lokal yang berhubungan dengan kelompok pendudukdan masyarakat karena dalam sebuah kota yang berkembang selalu ada hubungan secara sinergis antara konteks, sosial dan kebudayaan,

Tahap-tahap perkembangan kota Soe berawal dari pengaruh situasi kolonial seperti pembangunan jalan, taman kota dan ruang terbuka kota berbentuk segitiga sama kaki dengan ditandai penanaman pohon beringin, pembangunan kantor pemerintah kolonial dan tempat tinggal – rumah controlir Belanda, Kemudian pembangunan sonaf-sonaf di kampung Amanuban (kemudian berubah nama menjadi kampung Sabu), Kampung Mollo dan Kampung Amanatun sebagai tempat tinggal raja dan kantor kerajaan ( kantor Landschapp) serta pemukiman masyarakat etnis lokal dan pembesar-pembesar kerajaan, pembangunan jalan penghubung dalam kota.

Dengan dibangunnya kantor Landschappen Amanatun, Landschappen Amanuban dan Landschappen Mollo di kota Soe maka dengan demikian system pemerintahan sudah mulai mengikuti dan meniru cara Barat. Aktivitas pemerintahan tidak lagi di Sonaf-sonaf tetapi sudah di kantor Landschappen ( kerajaan).

Kota Soe kemudian menjadi pusat pemerintahan asing yang merupakan bagian yang lebih luas dalam kompleks politik kolonial. Posisi kota Soe kemudian menjadi kota transit persinggahan akses Timor – Barat dalam tautan kota-kota di pulau Timor karena iklimnya yang mendukung. Golongan imigran baru mulai berdatangan menjadi penduduk kota Soe yang kemudian mendoronng kegiatan perdagangan didalam maupun antar kota dan kawasan. Orang-orang Tionghoa berhasil mengisi peran ekonomi yang tidak diisi oleh orang-orang Belanda dengan membentuk kampung Cina sekaligus bermukim pedagang-pedagang Tionghoa sepanjang jalan utama dari Timur ke Barat kota Soe.

Ditahun 1930-an proses modernisasi di kota Soe mulai mengubah masyarakat tradisional pribumi kearah modern dan proses ini mendapat dorongan kuat dari pembangunan yang sedang dilakukan pemerintah kolonial Balanda. Berbagai sarana seperti transportasi, komunikasi, birokrasi, serta pendidikan yang diadakan saat itu untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan masyarakat.

Pada sisi lain, pergolakan dan perubahan struktur sosial yang menyangkut status dan fungsi mulai pula terjadi. Dalam situasi seperti ini bermunculan golongan-golongan terpelajar yang berpendidikan Barat yaitu golongan elit modern yang aktif melakukan perubahan dan mendorong masyarakat kearah kemajuan.

Situasi di kota Soe sangat berpengaruh pada golongan elite di wilayah Zuid Midden Timor karena kota Soe mempunyai kedudukan yang sangat penting karena selain sebagai ibu kota atau pusat pemerintahan Zuid Midden Timor juga menjadi pusat pendidikan. Oleh karena itu kota Soe mulai banyak dihuni oleh pendatang-pendatang baru atau hominess novi yang sebagian besar sebagai pegawai pemerintah, pendeta dan guru.

Golongan-golongan pendatang baru yang elit ini telah mengenyam pendidikan barat dan mulai mempengaruhi terjadinya perubahan dalam masyarakat lokal pribumi dalam bentuk sikap, pandangan serta ide-ide baru. Mereka mencoba memajukan masyarakat lokal pribumi yang lugu melalui bidang adat istiadat moderen, agama ( sending protestan) dan pendidikan. Pendidikan barat menimbulkan pergeseran peran dan fungsi dalam lembaga – institusi lama ke lembaga baru, bahkan golongan-golongan pendatang elit modern ini ingin menggantikan peran serta fungsi sebagai pemegang pimpinan. Dikota Soe politik kolonial dan system pendidikan barat merupakan pendorong terjadinya proses pergeseran status dan fungsi dalam system pemerintahan / birokrasi dan struktur sosial.

Bertalian dengan kota Soe yang menjadi kota bersama Landschappen ( kerajaan) Amanuban, Landschappen ( kerajaan) Molo dan Landschappen ( kerajaan) Amanatun dengan daerah sekitarnya kawasan kampung Amanuban, kawasan kampung Molo dan kawasan kampung Amanatun disebut “kota” – sejak berdirinya berada dalam pengawasan penguasaan kolonial. Residen Timor saat itu tuan A.H.Spaan sebagai pemerintahanan puncak keresidenan Timor berkedudukan di Kupang membawahi tiga affdeeleling yakni afdeelling Timor dan taklukannya dengan ibukota di Kupang, affdeeling Flores di Ende, dan affdeling Sumba di Waingapu. Di daerah Affdeeling Timor dan takluaannya membagi daerah – daerahnya atas beberapa onderaffdelling dan Landschappen ( kerajaan) Amanuban, Landschappen ( kerajaan) Mollo dan Landschappen ( kerajaan) Amanatun menjadi satu onder affdeeling yang bernama Zuid Midden Timor ( kemudian menjadi Timor Tengah Selatan di era NKRI) dengan pusat pemerintahan di kota SoE.

Dari sudut sejarah politik ketatanegaraan terlihat pentingnya menelisik hubungan kontrak politik kerajaan Belanda dan Raja Mollo dari Landschappen Mollo (10 Mai 1916), Raja Amanuban dari Landschappen Amanuban dan Raja Amanatun dari Landschappen Amanatun secara bersama-sama di Niki-niki ( 24 Pebruari 1923). Kontrak politik ini menentukan kedudukan pemerintahan swapraja diseluruh Indonesia dengan pemerintahan Hindia Belanda.

Jabatan seorang Resident di Timor saat itu merupakan wakil pemerintahan pusat dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jenderal. Dibawah Resident ditempatkan seorang kontrolir sebagai pegawai pemerintah Belanda yang menggontrol kekuasaandi onder affdeling. Sistim pemerintahan tidak langsung dilaksanakan oleh pemerintah kolonial akan tetapi memberi kesempatan kepada penguasa pribumi yakni raja-raja untuk tetap menjalankan pemerintahannya berdasarkan orientasi tradisional, sedangkan pada posisi lain pemerintah kolonial ingin menerapkan pemerintahan yang legal rasional sebagai sistim birokrasi modern. Sifat dualistik seperti ini menyebabkan baik pemerintah Belanda maupun pada pemerintah pribumi raja-raja harus menyesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan politiknya.

Pemerintahan pribumi yang dipegang oleh Raja selaku penguasa setempat disebut juga pemerintahan bumi putra. Penguasa tertinggi adalah raja yang berdasarkan hukum asli dan harus mendapat persetujuan secara resmi oleh pemerintah kolonial. Pada tahun 1920 Raja Kolo Banunaek Raja Amanatun dan Raja Pae Nope Raja Amanuban mendapat persetujuan resmi oleh pemerintah kolonial Belanda di kota Soe dan bersamaan dengan peristiwa ini juga mulai ditetapkannya kota Soe sebagai pusat pemerintahan Onderaffdelling Zuid Midden Timor.

Awal kota Soe sebagaimana ciri-ciri kota-kota lama berdiri di pusat pemerintahan yang berfungsi memberikan perlindungan kepada penduduknya. Awal pusat kota Soe menjadi titik yang berpusat kepada Sonaf (istana-istana raja yang di bangun di Kampung Mollo, kampung Amanuban, dan kampung Amanatun ) menjadi tempat tinggal raja sang penguasa lokal. Puncak hirarkhi pemerintahan diduduki oleh raja dan pusat pemerintahan ada dalam Sonaf - istana raja dan kawasannya.

Pusat kota Soe menjadi pelabuhan atau tempat pertemuan antara kekuasaan raja-raja sebagai pemerintahan daerah – pribumi dan pemerintah pusat kolonial Hindia Belanda.

Dipusat kota Soe dibangun kantor pemerintahan Hindia Belanda yang dipimpin oleh seorang Controlir ( pengawas) onderaffdelling Zuid Midden Timor dan alun-alun/ Taman kota ( taman Betrix) dan juga ruang terbuka kota berbentuk segi tiga sama kaki. Jaringan jalan raya utama Timur-Barat yang digunakan untuk mobilitas aksibilitas keluar masuk kota Soe membagi kota Soe menjadi dua zoning. Selain jalur utama juga dibangun jalan penghubung untuk lalulintas penduduk setempat.

Stratifikasi sosial ( layer ) dan ide masyarakat di kota Soe berhubungan erat dengan kedudukan Sonaf tempat tinggal raja Amanatun di kampung Amanatun, Raja Molo di kampung Mollo dan Raja Amanuban di kampung Amanuban di kota Soe. Ini digambarkan dalam bentuk segitiga sama kaki dan penanaman pohon beringin di pusat kota lama Soe. Posisi ujung segitiga bagian Timur ditempati raja Banunaek dari kerajaan Amanatun. Ujung segitiga bagian selatan ditempati raja Nope dari kerajaan Amanuban sedangkan ujung segitiga bagian utara ditempati raja Oematan dari kerajaan Mollo.

Perkembangan masyarakat kota Soe sebagai usaha rekonstruksi sejarah sosial kota akan memberikan gambaran tentang perubahan dan proses sejarah kota Soe sebagai kota tradisional dan kota kolonial dalam perjalanan menjadi sebuah kota modern masa depan. Keberhasilan rekonstruksi kota Soe diharapkan memberikan sumbangan pemahaman tentang kedudukan kota Soe didalam sejarah yang menarik dikaji. Pemahaman sejarah kota sendiri berarti pendalaman pengertian tentang dinamika sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar