Minggu, 14 Desember 2014

Bagaimana Orang Rote Mengakali Belanda dalam Pemerintahan





Oleh Matheos Viktor Messakh

Rote memang pulau kecil. Justru karena kecil maka cara para penghuninya berinteraksi dengan dunia luar menjadi unik. Berbicara tentang kolonialisme orang sering bicara tentang penindasan dan eksploitasi orang Eropa tetapi jika kita masuk kepada detail sejarah, seringkali yang kita dapati adalah interaksi yang rumit dan saling mengeksploitasi antara pribumi dan para kolonialis.

Dibanding pulau tetangga, Timor, misalnya jelas terlihat perbedaan bagaimana para penghuni kedua pulau ini beriteraksi dengan para pendatang Eropa yang mulai datang pada abad awal 17. Kalau Timor mempunyai daerah pedalaman yang cukup luas dan terpencil untuk menarik diri mundur jika ada serangan pihak asing, maka Rote tidak mempunyai keistimewaan itu. Determinasi geografis ini menjadi salah satu alasan mengapa para pemimpin di Timor cukup lama memilih jalan konfrontasi dan tarik mundur ke pedalaman, sedangkan Rote yang luasnya hanya 1.255,39 Km2 ini tak mempunyai jalan lain selain bersekutu dan mengambil keuntungan dari orang Eropa.

Awalnya memang para penguasa Rote memilih jalan perang, namun sejak parohan kedua abad 18 tidak ada lagi perlawan senjata yang berarti di Rote. Sebagai gantinya mereka menerima Kekristenan dan pendidikan Eropa untuk mencari jalan keluar dari perburuan budak yang gencar dilakukan Perusahaan Dagang Belanda di Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), baru dihapuskan pada tahun 1818.[1]

Namun selama tiga abad berhubungan dengan bangsa Eropa, orang Rote tetap bisa mempertahankan kebudayaannya termasuk salah satu yang terpenting, sistem pemerintahan aslinya. Antropolog James Fox yang meneliti Rote sejak tahun 1960-an menyimpulkan bahwa “selama tiga ratus tahun Rote mempunyai salah satu dari sistem gelar yang paling stabil di Indonesia.”[2]

Sistem pemerintahan asli Rote memang bertahan bukan saja sampai kemerdekaan RI, namun sampai dua dekade setelah kemerdekaanpun (cq. 1968), system pemerintahan asli Rote masih diberlakukan. Termasuk dalam sistem itu adalah tata cara pemilihan raja yang menarik.

VOC, Pemerintah Kolonial dan Pemerintah Indonesia
Nusak-nusak di Rote termasuk di antara yang pertama yang menjalin hubungan dengan orang Eropa dalam hal ini dengan VOC. Bahkan jauh sebelum VOC, raja-raja Rote telah menjalin hubungan dengan Portugis dan oleh karena itu ekspedisi-ekspedisi penghukuman dari armada VOC di Kupang ke Rote pada awal-awal kontak VOC dengan Rote umumnya dilakukan atas kecurigaan bahwa raja-raja Rote bersekutu dengan pihak Portugis atau tidak menghormati kontrak yang telah dibuat.[3]

Kontak pertama dilakukan VOC dengan Rote terjadi pada tahun 1653 dan kemudian para pejabat VOC menandatangani berbagai traktat kontrak yang direvisi terus-menerus dengan para manek-manek Rote di berbagai domain. Kontrak-kontrak itu antara lain terjadi pada tahun 1662, 1691, 1700, dan 1756.[4]

Ciri utama hubungan Belanda-Rote ini adalah “penguasaan tidak langsung” yang berlangsung sejak kontrak pertama di abad 17 sampai dengan era kemerdekaan Indonesia. Dalam system ini VOC (dan kemudian Kerajaan Belanda) hanya berhubungan dengan orang rote melalui sistem pemerintahan tidak langsung yang didasarkan pada struktur formal yang sama selama berabad-abad.[5]

Dalam menandatangi kontrak dengan berbagai nusak yang berbeda, para pejabat VOC secara konsisten mengakui seorang penguasa utama yang mereka sebut sebagai Regent dan seorang pejabat tambahan yang mereka sebut sebagai Regent Kedua (Tweede Regent). Belanda juga mengakui, namun tidak secara formal mengangkat, sejumlah ketua di setiap domain yang mereka beri gelar dalam bahasa Melayu, Temukun.[6]  Orang Rote sendiri menyebut penguasa utama sebagai ‘Manek’ dan penguasa kedua sebagai ‘Fetor’. Barulah pada abad 19 pemerintah kolonial Belanda menerapkan istilah ‘Raja[7]’ untuk para manek dan istilah ‘Fetor’ untuk penguasa kedua, namun terus memakai istilah ‘Temukun’ untuk para tua-tua. Sistem formal dengan tiga level gelar ini dipertahankan dengan hanya sedikit perubahan selama lebih dari tiga abad. Sebagai nusak yang diakui, masing-masing manek di setiap nusak mempunyai sistem pengadilan independen tersendiri. Mirip cerita Alkitab, para manek di Rote juga adalah hakim pemutus perkara tertinggi di nusaknya masing-masing. Fungsi seorang manek adalah mendengarkan perkara, memeriksa dan memberikan putusan sesuai dengan adat nusaknya.[8] Anthropolog terkenal Belanda F.A.E. van Wouden dalam pengamatannya terhadap para raja Rote mengutip sebuah peribahasa Rote yang berbunyi: “Ketika raja berbicara, bagaikan guntur yang bersahutan.”[9]
Raja Joel Simon Kedoh, raja untuk seluruh Rote (1928-1948) di depan istana di Baa. [sumber: koleksi Middelkop pada KITLV]

Setelah 300-an tahun relatif tak berubah, dalam dekade-dekade awal abad 20, dibawah kebijakan “intesifikasi kekuasaan” pemerintah kolonial berusaha untuk merasionalisasi struktur nusak dan sistem gelar para penguasa Rote. Tapi rupanya sistem yang sudah bertahan lama selama berabad itu sulit dirubah. Jika pulau-pulau lain di Residensi Timor dan Pulau-pulaunya yang sebelumnya mempunyai hubungan yang sangat kurang dengan Belanda, telah menjadi sasaran perubahan secara mendasar, program rasionalisasi ini di Rote berhasil ditolak dan diselepekan. Inilah ironinya: pulau yang selama berabad sudah dipenetrasi oleh Belanda justru mampu mempertahankan sistem pemerintahan aslinya, sementara pulau lain yang kurang mendapat penetrasi justru menjadi sasaran perubahan luar biasa di awal abad 20.

Untuk mempertahankan posisi mereka, para penguasa Rote hanya melakukan sebuah perubahan di permukaan. Pada 31 Oktober 1928, para manek Rote ramai-ramai menyerahkan hak mereka akan gelar ‘Radja’ dan menyetujui penunjukkan seorang bangsawan Rote dari turunan Fetor, Joel Simon Kedoh, sebagai seorang pejabat sementara “Radja Rote”. Inilah untuk pertama kalinya dan terakhir kalinya Rote mempunyai seorang “Radja” tunggal. Joel Simon Kedoh sebenarnya adalah seorang bintang pelajar Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar yang dianggap cakap untuk menjadi raja bagi seluruh pulau kecil ini.

Dengan melakukan ini sebenarnya mereka mengakali Belanda. Mereka tetap mempertahankan hak untuk memerintah domain mereka dengan gelar “Manek” yang sebenarnya adalah synonym bahasa Rote untuk “radja. ” Bahkan orang Rote menyebut raja yang baru terpilih itu sebagai “manek kisek” yang merupakan pujian sekaligus ejekan.[10] Kata ‘Kisek’ dalam bahasa Rote bisa berarti ‘tunggal’ tetapi juga berarti ‘tersendiri’ atau ‘menyendiri’. Jadi dengan menyebut ‘manek kisek’ bisa berarti raja tunggal tetapi bisa juga berarti raja yang tersendiri atau raja yang menyendiri alias raja yang dicuekin.
Perubahan yang diprakarsai Belanda ini juga merupakan keuntungan bagi beberapa penguasa dari domain yang lebih kecil yang beberapa dekade sebelumnya telah digabungkan ke domain yang lebih besar, karena mereka memperoleh kembali posisi ‘tradisional’ mereka.

Dengan perubahan ini, walaupun ada seorang raja yang berkedudukan di Ba’a, Rote tetap terbagi menjadi 18 domain (nusak) dengan setiap nusak diperintah oleh seorang Manek, seorang Fetor, dan sejumlah Temukun. Dan di sini untuk pertama kalinya Temukun disebut dengan bahasa Rote “Maneleo”. Seluruh Raja-raja Rote tergabung dalam sebuah dewan yang di sebut Raad van Landshoofden[11] untuk membantu sang pejabat Raja Rote dalam memerintah.

Ketika sang Raja Rote meninggal saat Pendudukan Jepang ia tidak digantikan. Sistem tradisional ini berlanjut selama pendudukan Jepang dan setelah kembalinya Belanda, dan bahkan dipertahankan sampai dua dekade setelah kemerdekaan Indonesia dengan sedikit modifikasi. Setelah kemerdekaan, 18 nusak digabung menjadi empat Kecamatan dimana umumnya Manek dari nusak yang besar menjadi camat. Walaupun demikian, para raja tetap berkuasa dan sistem pengadilan tradisional Rote tetap berjalan. Hanya setelah tahun 1968 terjadi perubahan besar dalam sistem administrasi Indonesia dan sistem tradisional ini dihapuskan.

Mengapa para Belanda masih ada di Rote sampai tahun 1949 dan mengapa para Raja masih berkuasa sampai tahun 1960-an?[12]
Anda tentu bertanya, mengapa Belanda masih bercokol di Rote sampai tahun 1949 dan mengapa para raja masih berkuasa di Rote sampai tahun 1960-an? Begini ceritanya: Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan untuk sementara wilayah Negara Repuplik Indonesia yang dibagi dalam 8 propinsi.[13] Setiap Propinsi dibagi lagi atas wilayah Keresidenan yang dipimpin oleh seorang Residen. Setiap gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Wilayah Swapraja Rote-Ndao dan Swapraja Sabu-Raijua yang dahulunya disatukan dalam Onder Afdeling Rote-Sabu berada dalam wilayah Propinsi Sunda Kecil dan wilayah Keresidenan Timor dan daerah takluknya.

Tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 23 Nopember 1945, Pemerintah RI menetapkan UU No. 1 Tahun 1945. UU ini mengatur antara lain wilayah kerja perangkat Pemerintah dimana sebuah  propinsi dipimpin oleh seorang Gubernur, Keresidenan dipimpin oleh Residen, Kabupaten dipimpin oleh Bupati, Kotapraja dipimpin oleh  Wali Kota, Kewedanan dipimpin oleh  Wedana dan Kecamatan (Onder Distrik) dipimpin oleh Asisten Wedana (Camat). Sayangnya UU ini hanya berlaku di Yokyakarta dan tidak berlaku di daerah lain yang masih diduduki oleh Belanda termasuk wilayah Rote-Sabu.
Oleh karena itu, pada tahun 1946 pemerintah Hindia Belanda menempatkan kembali pejabatnya yaitu seorang Contorleur di Ba’a. Pemerintahan Swapraja Rote-Ndao tetap bertugas seperti biasa sampai meninggalnya pejabat Raja Rote, Joel Simon Kedoh pada tanggal 31 Agustus 1948. Pada tahun 1949 terjadilah penyerahan Kedaulatan kepada Pemerintan RI sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, secara de fakto penyerahan kedaulatan di daerah Timor terjadi pada tanggal 29 September 1949 antara Residen Ver Hoef dan H.A. Koroh sebagai kepala daerah Timor.

Pada tahun 1950 wilayah ex Onder Afdeling Rote-Sabu ditetapkan menjadi satu wilayah setingkat Kewedaan (Distrik) yang dipimpin oleh seorang Kepala Pemerintahan Setempat (KPS). Zelf Bentuur Rote yang dibentuk berdasarkan ZBR 1938 dirubah namanya menjadi Swapraja Rote-Ndao mengalami kekosongan kekuasaan karena meningalnya pejabat Raja Rote pada tahun 1948. Selanjutnya di Swapraja Rote-Ndao dibentuk suatu badan yang bersifat Kolegial yang disebut Dewan Pemerintahan Daerah Sementara Swapraja Rote-Ndao (DPS Swapraja Rote-Ndao) yang terdiri dari beberapa raja yang bertugas sejak 1948-1958.[14]

Berdasarkan UU No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II Kupang, wilayah Swapraja Rote-Ndao digabungkan dengan Swapraja Sabu-Raijua, Kota Kupang, Swapraja Kupang, Swapraja Amarasi, Swapraja Fatleu,  Swapraja Amfoang menjadi daerah Swatantra Tingkat II Kupang dengan Ibukota Kupang.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur NTT[15] tertanggal 28 Februari 1962 dan tanggal 9 Juni 1962, Wilayah Swapraja Rote-Ndao dimekarkan menjadi tiga wilayah Kecamatan yaitu: Rote Timur, Rote Tengah dan Rote Barat.[16] Periode ini merupakan masa transisi yang sulit bagi orang Rote. Banyak orang belum mempercayai pemerintahan Indonesia, dan oleh karena walaupun sudah ada camat, raja-raja tetap memerintah. Perkara-perkara masih diputuskan oleh raja walaupun telah ada pengadilan negeri di Ba’a. Dalam periode inilah dikenal raja-raja terakhir dari Rote.[17] Karena sejumlah raja diangkat menjadi camat, maka penggati mereka segera juga diangkat. Karena ini merupakan masa transisi, para raja terakhir ini ada yang dipilih oleh rakyat, ada pula yang hanya dipilih oleh para temukun. Ini penjelasannya mengapa setelah Indonesia merdekapun Belanda masih ada dan para Raja masih diakui dan berkuasa di Rote.

Sistem Pemerintahan Rote, Bukan Monarki Absolut
Pulau Rote terbagi dalam 18 domain otonom yang disebut Nusak[18] yang dikuasai oleh seorang pemimpin yang disebut Manek[19] yang tugas utamanya adalah mendengarkan perkara dan memberikan putusan dalam system pengadilan yang otonom di nusaknya sendiri.[20] Setiap nusak mempertahankan varian tersendiri dari bentuk hukum adatnya, memelihara dialek tersendiri dan bangga akan keunikannya dalam kebiasaan tertentu dan dalam hal berpakaian dari nusak yang lain.

Setiap Nusak terdiri dari sejumlah klan (leo) yang membentuk unit politik tradisionalnya.[21] Klan itu terbatas pada satu nusak, tidak ada system klan yang berlaku untuk seluruh pulau itu. Setiap klan dikepalai oleh seorang kepala klan yang disebut maneleo yang mewakili klannya dalam pengadilan kerajaan dan membantu manek dalam memberikan keputusan. Walaupun jumlah klan dalam setiap nusak tidak selalu berjumlah Sembilan, struktur klan-klan yang rumit ini secara keseluruhan biasa dirujuk sebagai kelompok ‘sembilan’ (sio), yaitu angka yang menunjukkan totalitas. Karena itu setiap kepala klan disebut juga manesio (manek Sembilan). Dalam sejumlah nusak, salah satu kepala klan disebut juga manedope (manek pisau) yang berfungsi mengumunkan dan melaksanakan keputusan sang raja.

Rakyat dibagi dalam dua kelas, bangsawan dan rakyat biasa. Para bangsawan ada dalam dua klan, klan manek dan klan fetor.[22] Walaupun gelar Fetor ini terdapat di beberapa tempat di Timor dan kemungkinan besar berasal dari bahasa Portugis, etymologi tradisional Rote mengatakan bahwa gelar Fetor ini berasal dari bahasa Rote ‘feto’ yang dalam konteks tertentu berarti ‘perempuan’. Gelar Manek sendiri berasal dari kata “mane” yang berarti jantan atau laki-laki. Orang Rote melihat hubungan antara klan Manek dan klan Fetor sebagai polaritas sexual simbolik. Dalam banyak nusak, kedua klan ini bersatu dalam alliansi affinal saling menguntungkan.
Semua klan yang lainnya selain klan Manek dan klan Fetor adalah klan rakyat biasa.[23] Orang kebanyakan (laus dari kata laus yang bisa berarti ‘busuk’, ‘rakus’, ‘jelek’, ‘penyakit’, ‘tidak beruntung’ dan membentuk sebuah kata kerja yang berarti ‘melakukan kerja kasar’. [24] Salah satu klan jelata dalam setiap nusak adalah klan Kepala Bumi (Dae Langak). Dae Langak ini mempunyai kuasa spiritual atas seluruh nusak, termasuk terhadap klan Manek. Ia mempunyai hak, dalam kondisi tertentu, untuk menyanggah keputusan raja dan mempunyai sejumlah hak ritual menyangkut bumi.

Kemenangan para manek melawan pemerintah Kolonial ini juga membawa konsekwensi bahwa mereka tetap mengatur mekanisme rekruitmen politik mereka berdasarkan sistem yang sudah berabad, bukan berdasarkan sistem penunjukkan oleh pejabat Kolonial. Walaupun seorang raja untuk seluruh Rote ditunjuk oleh Belanda, tapi manek-manek tetap dipilih oleh rakyat mereka.

Naiknya seseorang menjadi manek bukanlah berdasarkan keturuan namun berdasarkan pemilihan. Walaupun para kandidat adalah terbatas pada klan manek, namun manek haruslah dipilih oleh rakyat melalui pemilihan langsung. Jadi tidak otomatis seorang Raja anaknya akan menjadi raja berikutnya, karena setiap pergantian raja haruslah melalui pemilihan.

Contoh Kasus Nusak Thie
Meskipun Thie (sekarang menjadi kecamatan Rote Barat Daya) dalam surat-surat VOC tertanggal 22 November 1660, nusak ini tidak secara formal diakui dalam kontrak VOC hingga 1690. Dinasty yang sama yang menggunakan nama marga Mesak (seringkali ditulis dengan gaya Belanda kuno ‘Messakh’) telah menguasai Thie sejak pengakuan oleh VOC ini.[25] Fox menyebut dua orang raja Thielah yang telah melakukan inovasi yang kemudian merubah seluruh Rote. Di tahun 1729, raja Mbura Mesa masuk Kristen dan anaknya Foe Mbura (atau Benjamin Messakh) yang menggantikannya setelah itu mendeklarasikan Thie sebagai negara Kristen dan mendirikan sekolah lokal berbahasa Melayu pertama di Rote.

Nusak Thie terbagi dalam 26 klan, 14 tergabung dalam moety manek yaitu disebut Sabarai, 12 klan tergabung dalam moiety Taratu yaitu moety Fetor. Klan-klan ini, baik yang tergabung dalam Sabarai atau Taratu,  masih dibedakan lagi menjadi Leo Inak (klan besar), dan Leo Anak (klan kecil). Pembedaan ini tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota klan melainkan lebih kepada pembedaan antara “bangsawan” dan “orang biasa”.  

Walaupun semua klan di Thie …klan-klan besar dalams setiap moiety mengakui hubungan geneologis yang lebih dekat satu sama lain. Namun di antara setiap kelompok klan besar ini terdapat pembagian lebih kecil lagi yang mempunyai signifikansi politik. Lima dari delapan klan besar dalam grup Sabarai membentuk grup yang disebut Pandi-Anan (Anak-anak Pandi) sementara enam dari delapan klan besar dalam grup Taratu membentuk kelompok yang disebut sebagai Moi-Anan (Anak-anak Moi) dan empat dari enam klan dalam Moi-Anan ini membentuk sebuah kelompok lain yang disebut Boru-Anan (Anak-anak Boru).

Menurut tradisi, anggota-anggota Boru Anan (Leo Nalle Feo, Mesa Feo, Tode Feo dan Ndana Feo) mempunyai hak untuk memilih atau setidaknya meratifikasi pemilihan seorang Manek baru dan para anggota Pandi-Anan mempunyai hak yang sama untuk memilih seorang Fetor baru. Selain itu akan dipilih tiga orang saksi dari leo-leo lain secara acak. Paling sering saksi dipilih dari klan Keka Dulu yang dianggap netral. Sejak terbentuknya Swapraja Rote-Ndao di tahun 1945, pemerintah swapraja juga mengirimkan seorang pengamat dari Ba’a pada saat pemilihan raja.

Manek dipilih dari klan Mbura Lae, atau keluarga Messakh yang berdiam di tiga wilayah di Nusak Thie yaitu dari Ngoro Dulu (Keluarga Messakh di Oebatu), Ngoro Muri (keluarga Messakh di Oebafok) dan Ngoro Kona (keluarga Messakh di Batutua).

Entah sejak kapan pemilihan raja ini dilakukan oleh setiap rumah (uma) yang diwakili oleh kepala rumah tangga. Uma adalah unit terkecil dari sebuah klan. Biasanya setelah sekian kandidat ditetapkan, maka akan diadakan pemilihan. Pemilihan ini berlangsung secara terbuka, dan setiap pemilih akan memilih calonnya dengan memasukkan batu kerikil ke dalam wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar yang di sebut kapisak atau lapaneuk.
Karena diadakan secara terbuka, sang pemilih tentu harus menyingkirkan segala kekhawatiran dan rasa sungkan untuk memilih calon yang ia sukai. 

Kebiasaan berbeda pendapat dan berperkara di kalangan orang Rote turut membentuk kepribadian mereka dimana mereka tidak akan takut berbeda walaupun dengan kerabat sendiri. Misalnya, walaupun paman seorang pemilih adalah kandidat raja, namun ia belum tentu memilih pamannya. Dan itu kadang dilakukan secara terbuka. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat kedewasaan politik yang dibutuhkan dalam pemilu seperti ini.

Memasuki abad 20, pemilihan sudah diadakan dengan sistem kartu dan cap jempol dimana tiga orang calon diberi nomor dalam sebuah daftar, kemudian para pemilih akan membubuhkan cap jempol mereka pada kolom calon yang mereka pilih.

Sayangnya, di era Orde Baru, pemilu ini dikebiri. Rakyat masih boleh memilih secara langsung anggota DPR mereka namun pemilihan para pejabat eksekutif dilakukan oleh DPR.  Kemudian di Era Reformasi muncul kembali harapan dimana pemilihan umum legislative maupun eksekutif dilakukan oleh rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia baru saja melakukan kebodohan yang bahkan tidak dilakukan masyarakat tradisional Indonesia dari pulau terpencil di sebelah selatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam pertarungan di parlemen pasca terpilihnya Joko Widodo dan Yusuf Kalla, sebernarnya baik Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat bisa menerapkan politik ala Rote ini, namun nampaknya mereka menyukai bermain kasar dan tanpa malu-malu. [S]

Referensi
James Fox, (1971) ‘A Rotenese Dynastic Genealogy: Structure and Event’ dalam The Translation of Culture, T.O. Beidelman (ed), London: Tavistock, hal.37-77.
James Fox,(1980) ‘Obligation and Alliance: State Structure and Moiety Organization in Thie, Roti’ dalam Fox (ed.), The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia, Harvard University Press, hal. 98-133.
James Fox,(1983) ‘For Good and Sufficient Reasons: An Examination of Early Dutch EastIindia Company Ordinances on Slave and Slavery’ dalam Anthony Reid (ed.), Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia, NY: St. Martin’s Press, hal. 246-262.
James Fox, (2007), Traditional Justice and ‘Court System’ of the island of Roti, The Asia Pasific Journal of Anthropology, 8:1, hal. 59-73.
Benjamin Messakh, Rote dalam Jangkauan Jaman, [belum dipublikasikan]

CATATAN KAKI
[1] Pada tahun 1770 sebuah ordonansi budak dikeluarkan oleh VOC yang melarang perbudakan terhadap orang Kristen. Namun Ordonansi perbudakan pertama kali dikeluarkan VOC pada 4 Mei 1622 yang menurut Fox telah berkontribusi terhadap pembentukan kelas Kristen pribumi yang terpisah dari orang Eropa yaitu para mardijkers dan juga berimplikasi pada aturan-aturan mengenai hubungan dengan kerajaan-kerajaan pribumi di Indonesia timur termasuk dengan Rote. Dalam hukum Belanda, rakyat dari “penguasa Kristen” pertama di Rote tidak boleh dijadikan budak oleh kerajaan-kerjaan tetangga yang melakukan perburuan budak. Lihat James Fox, ‘For Good and Sufficient Reasons: An Examination of Early Dutch EastIndia Company Ordinances on Slave and Slavery’ dalam Anthony Reid (ed.), Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia, NY: St. Martin’s Press, hal. 253.

[2]James Fox, ‘Obligation and Alliance: State Structure and Moiety Organization in Thie, Roti’ dalam Fox (ed.), The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia, Harvard University Press, h. 106; Fox (2007), Traditional Justice and ‘Court System’ of the island of Roti, The Asia Pasific Journal of Anthropology, 8:1, hal. 60.

[3] James Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy: Structure and Event’ dalam The Translation of Culture, T.O. Beidelman (ed), London: Tavistock, 1971. hal. 58.
[4]Ibid: 40.

[5] Fox, ‘Obligation and Alliance’ h. 104; Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy: Structure and Event’ dalam The Translation of Culture, T.O. Beidelman (ed), London: Tavistock, 1971. h 40.

[6] Temukun berasal dari bahasa Jawa, ‘Tumenggung’.
[7] Istilah ‘radja’ baru terapkan oleh Belanda dalam dokumen-dokumen resminya pada awal abad 19, dan istilah yang diambil dari bahasa Melayu yang berasal dari India ini cukup mempengaruhi konsep tentang para pemimpin tradisional di Indonesia sampai sekarang. Menurut hemat penulis, dalam membahas tentang para pemimpin-peminpin tradisional di Indonesia sebaiknya digunakan istilah asli dipakai penduduk mengingat keunikan konsep dan praktek dalam pemerintah tradisional. Dengan menggunakan raja pikiran kita akan menuju kepada istilah “King” atau “Koning” dalam pengertian Eropa yang sebenarnya jauh berbeda dalam level definisi maupun praktis. Oleh karena itu sebaiknya digunakan istilah yang asli untuk menghindari misinterpretasi. Dengan demikian maka di gunakan saja istilah “Manek” atau misalnya di Timor sebaiknya digunakan saja istilah “Liurai” atau “Usif.”

[8]   Fox, ‘Obligation and Alliance’, hal. 104.
[9]  1968: hal. 64.
[10] Wawancara dengan Benjamin Messakh, BA. (alm).
[11] Secara harfiah dapat diterjemahkan dengan ‘Dewan Para Kepala Negeri’, namun lebih populer diterjemahkan dengan ‘Dewan Raja-raja’.

[12] Saya berhutang pada bagian ini sebagian besar dari tulisan Benjamin Messakh yang belum diterbitkan: Rote Dalam Jangkauan Zaman.
[13] Kedepan Propinsi itu adalah: Jawa Barat dengan Ibukota Bandung, Jawa Tengah dengan Ibukota Semarang, Jawa Timur dengan Ibukota Surabaya, Sumetera dengan Ibukota Bukit Tinggi, Borneo dengan Ibukota Banjarmasin, Sulawesi dengan Ibukota Makasar, Sunda Kecil dengan Ibukota Singaraja, Maluku dengan Ibukota Ambon.

[14] DPS Swapraja Rote-Ndao adalah sebagai berikut:
Tahun 1948-1952: Raja Korbaffo, Ch. P. Manubulu (ketua) dengan anggota-anggota: J. W. Messakh (Raja Thie) dan dua orang lagi yang belum diketahui oleh penulis.
Tahun 1952-1954: Raja Talae, Mesak Mesah Saudale (ketua) dengan anggota-Anggota: Nehemia Daud (Raja Ringgou), Marthen Lenggu (Raja Bilba), dan seorang lagi yang belum diketahui.

Tahun 1954-1955: Raja Ringgou Nehemia Daud (Ketua), Ishak Dae Panie (Raja Ba’a ), Hendrik Hanok Lenggu (Raja Oenale) dan seorang lagi yang belum diketahui.
Tahun 1956-1957: Raja Korbaffo, Ch. P. Manublu (Ketua), Marthen Lenggu (Raja Bilba), Ishak Dae Panie  ( Raja  Ba’a ), dan seorang lagi yang belum diketahui.
Tahun 1957-1958: Raja Korbaffo, Ch. P. Manublu (Ketua), Nehemia Daud (Raja Ringgou), W. St. Mbate Mooy  (Wakil Raja Thie), Jacobus Lasarus, dan Albert Dillak.
[15] Keputusan Kepala Daerah Tingkat-I  Nusa Tenggara Timur  No. Pem.66 /1/2 Tanggal 28 Februari 1962 dan No. Pem. 6 /1/33 tanggal 9 Juni 1962.

[16] Kecamatan Rote Timur meliputi Nusak Landu, Ringgou, Oepao, Bilba, Diu, dan Korbaffo dengan Ibukota Eahun, dengan Samuel Sadrak Bokotei sebagai Camat pertama; Kecamatan Rote Tengah meliputi Nusak Termanu, Bokai, Lelenuk, Keka, Talae, Loleh, dan Ba’a, dengan Ibukota Ba,a dengan camat pertama E. Y. I. Amalo; Kecamatan Rote Barat meliputi Nusak Lelain, Thie, Dengka, Delha, Oenale, dan Ndao dengan Ibukota Oelaba dengan camat pertama Yacobus Arnoldus Messakh.

[17] Di Nusak Ringgou/Rikou, Raja Nehemia Daud  yang berkuasa sejak tahun 1926, diangkat menjadi anggota dan ketua DPDS Swapraja Rote Ndao pada tahun 1962, sehingga ia digantikan sebagai raja oleh Samuel Daud yang berkuasa tahun 1962-1972; di Nusak Oepao, Zakarias Sjion adalah raja tekahir yang berkuasa tahun 1964-1969; Di Nusak Landu, raja terkahir adalah Marthen Matheos Johannis (1959-1972); di Nusak Bilba, Raja Marten Lenggu yang berkuasa sejak tahun 1948 diangkat menjadi anggota DPS Rote pada tahun 1960 dan  digantikan oleh Arnoldus They (1960-1972); Raja terkahir Nusak Diu adalah Paulus Albert Manafe (1960-1972); Raja terakhir Nusak Korbafo adalah Christian Paulus Manubullu (1926-1972); Raja terakhir Lelenuk adalah Josepus Daud Daik (1965-1972); Di Nusak Termanu Raja Ernest Johanis Jermias Michel Amalo (1946-1962) diangkat menjadi Camat Rote Tengah dan digantikan Wakil Raja Frans Bire Doko, (1962-1964) dan dari tahun 1969-1972 diangkat Raja terakhir Jhon Fritz Amalo; Raja terakhir Nusak Keka adalah Thobias Malelak (1927-1974) dan sejak tahun 1962 tugas Raja dilaksanakan oleh Welhelmus Malelak sebagai wakil raja; Raja terakhir Nusak Talae adalah Mesak Mesah Saudale (1922-1972); Raja terakhir Nusak Bokai adalah Herman Dupe (1962-1972); Raja terkahir Nusak Lole adalah Salmun Paulus Suido Dillak (1938-1972); Raja terakhir Nusak Ba’a adalah Abia Zakarias Mandala (1966-1972); Raja terakhir Nusak Lelain adalah Junus Bessie (1966-1972); Raja terkahir Nusak Dengka adalah Kristofel Aleksander Tungga (1957-1962); Raja terakhir Nusak Thie adalah Thobias Arnoldus Messakh (1962-1972); Raja terkahir Nusak Oenale adalah Th. Dethan (1961-1972); Raja terakhir Nusak Delha adalah Abner Ndun (1935-1972); Raja terakhir Nusak Ndao adalah Ferdinand Baun (1945 – 1968). Lihat Benjamin Messakh, Rote dalam Jangkauan Jaman [belum diterbitkan].

[18] James Fox menggunakan dua istilah yang bergantian untuk nusak yaitu “domain” dan “state.” Nusak-nusak itu adalah: Delha, Oenale, Thie, Dengka, Lole, Lelain, Ba’a, Termanu, Keka, Talae, Bokai, Lelenuk, Diu, Korbafo, Bilba, Oepao, Ringgou dan Landu.
[19] Fox menggunakan istilah “Lord” untuk Manek.

[20] Untuk system pengadilan Rote lihat James Fox, “Traditional Justice and the ‘Court System’ of the Island of Rote” hal. 59-73
[21] Uraian tentang system klan ini dasarkan pada Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy’, hal. 40-42.

[22] Ada tiga nusak kecil, Delha, Oenale dan Lelenuk tidak mempunyai fetor. Nusak-nusak ini terbentuk karena perpecahan antara manek dan fetor.  Di nusak kecil lainnya, Talae, Fetor telah menggantikan sang Manek dan mengusai nusak itu –sebagai Fetor—secara permanen.

[23] Contoh klan manek dan klan fetor bisa di lihat di dua nusak besar yaitu Termanu dan Thie. Di Termanu, klan manek adalah Masa-Huk dan klan fetor adalah Kota-Deak. Klan lain yaitu  Meno, Sui, Kiu-Kanak, Ingu-Beuk, Nggofa Laik, Dou-Dangga, Ingu-Fao, Ulu-Anak dan Ingu-Nai adalah klan rakyat kebanyakan. Klan Meno adalah klan para Dae-Langak.
[24] Op.cit. 41

[25]   Fox, ‘Obligation and Alliance: State Structure: 121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar