Oleh Matheos
Viktor Messakh
Rote memang
pulau kecil. Justru karena kecil maka cara para penghuninya berinteraksi dengan
dunia luar menjadi unik. Berbicara tentang kolonialisme orang sering bicara
tentang penindasan dan eksploitasi orang Eropa tetapi jika kita masuk kepada
detail sejarah, seringkali yang kita dapati adalah interaksi yang rumit dan
saling mengeksploitasi antara pribumi dan para kolonialis.
Dibanding
pulau tetangga, Timor, misalnya jelas terlihat perbedaan bagaimana para
penghuni kedua pulau ini beriteraksi dengan para pendatang Eropa yang mulai
datang pada abad awal 17. Kalau Timor mempunyai daerah pedalaman yang cukup
luas dan terpencil untuk menarik diri mundur jika ada serangan pihak asing,
maka Rote tidak mempunyai keistimewaan itu. Determinasi geografis ini menjadi
salah satu alasan mengapa para pemimpin di Timor cukup lama memilih jalan
konfrontasi dan tarik mundur ke pedalaman, sedangkan Rote yang luasnya hanya
1.255,39 Km2 ini tak mempunyai jalan lain selain bersekutu dan mengambil
keuntungan dari orang Eropa.
Awalnya
memang para penguasa Rote memilih jalan perang, namun sejak parohan kedua abad
18 tidak ada lagi perlawan senjata yang berarti di Rote. Sebagai gantinya
mereka menerima Kekristenan dan pendidikan Eropa untuk mencari jalan keluar
dari perburuan budak yang gencar dilakukan Perusahaan Dagang Belanda di Hindia
Timur atau yang lebih dikenal dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie),
baru dihapuskan pada tahun 1818.[1]
Namun selama
tiga abad berhubungan dengan bangsa Eropa, orang Rote tetap bisa mempertahankan
kebudayaannya termasuk salah satu yang terpenting, sistem pemerintahan aslinya.
Antropolog James Fox yang meneliti Rote sejak tahun 1960-an menyimpulkan bahwa
“selama tiga ratus tahun Rote mempunyai salah satu dari sistem gelar yang
paling stabil di Indonesia.”[2]
Sistem
pemerintahan asli Rote memang bertahan bukan saja sampai kemerdekaan RI, namun
sampai dua dekade setelah kemerdekaanpun (cq. 1968), system pemerintahan asli
Rote masih diberlakukan. Termasuk dalam sistem itu adalah tata cara pemilihan
raja yang menarik.
VOC,
Pemerintah Kolonial dan Pemerintah Indonesia
Nusak-nusak di Rote termasuk di antara yang
pertama yang menjalin hubungan dengan orang Eropa dalam hal ini dengan VOC.
Bahkan jauh sebelum VOC, raja-raja Rote telah menjalin hubungan dengan Portugis
dan oleh karena itu ekspedisi-ekspedisi penghukuman dari armada VOC di Kupang
ke Rote pada awal-awal kontak VOC dengan Rote umumnya dilakukan atas kecurigaan
bahwa raja-raja Rote bersekutu dengan pihak Portugis atau tidak menghormati
kontrak yang telah dibuat.[3]
Kontak
pertama dilakukan VOC dengan Rote terjadi pada tahun 1653 dan kemudian para
pejabat VOC menandatangani berbagai traktat kontrak yang direvisi terus-menerus
dengan para manek-manek Rote di berbagai domain. Kontrak-kontrak itu antara
lain terjadi pada tahun 1662, 1691, 1700, dan 1756.[4]
Ciri utama
hubungan Belanda-Rote ini adalah “penguasaan tidak langsung” yang berlangsung
sejak kontrak pertama di abad 17 sampai dengan era kemerdekaan Indonesia. Dalam
system ini VOC (dan kemudian Kerajaan Belanda) hanya berhubungan dengan orang
rote melalui sistem pemerintahan tidak langsung yang didasarkan pada struktur
formal yang sama selama berabad-abad.[5]
Dalam
menandatangi kontrak dengan berbagai nusak yang berbeda, para pejabat VOC
secara konsisten mengakui seorang penguasa utama yang mereka sebut sebagai Regent
dan seorang pejabat tambahan yang mereka sebut sebagai Regent Kedua (Tweede
Regent). Belanda juga mengakui, namun tidak secara formal mengangkat,
sejumlah ketua di setiap domain yang mereka beri gelar dalam bahasa Melayu,
Temukun.[6] Orang Rote sendiri menyebut penguasa utama sebagai ‘Manek’
dan penguasa kedua sebagai ‘Fetor’. Barulah pada abad 19 pemerintah kolonial
Belanda menerapkan istilah ‘Raja[7]’ untuk para manek dan istilah ‘Fetor’ untuk
penguasa kedua, namun terus memakai istilah ‘Temukun’ untuk para tua-tua.
Sistem formal dengan tiga level gelar ini dipertahankan dengan hanya sedikit
perubahan selama lebih dari tiga abad. Sebagai nusak yang diakui, masing-masing
manek di setiap nusak mempunyai sistem pengadilan independen tersendiri. Mirip
cerita Alkitab, para manek di Rote juga adalah hakim pemutus perkara tertinggi
di nusaknya masing-masing. Fungsi seorang manek adalah mendengarkan perkara,
memeriksa dan memberikan putusan sesuai dengan adat nusaknya.[8] Anthropolog
terkenal Belanda F.A.E. van Wouden dalam pengamatannya terhadap para raja Rote
mengutip sebuah peribahasa Rote yang berbunyi: “Ketika raja berbicara, bagaikan
guntur yang bersahutan.”[9]
Raja Joel
Simon Kedoh, raja untuk seluruh Rote (1928-1948) di depan istana di Baa.
[sumber: koleksi Middelkop pada KITLV]
Setelah
300-an tahun relatif tak berubah, dalam dekade-dekade awal abad 20, dibawah
kebijakan “intesifikasi kekuasaan” pemerintah kolonial berusaha untuk
merasionalisasi struktur nusak dan sistem gelar para penguasa Rote. Tapi
rupanya sistem yang sudah bertahan lama selama berabad itu sulit dirubah. Jika
pulau-pulau lain di Residensi Timor dan Pulau-pulaunya yang sebelumnya
mempunyai hubungan yang sangat kurang dengan Belanda, telah menjadi sasaran
perubahan secara mendasar, program rasionalisasi ini di Rote berhasil ditolak
dan diselepekan. Inilah ironinya: pulau yang selama berabad sudah dipenetrasi
oleh Belanda justru mampu mempertahankan sistem pemerintahan aslinya, sementara
pulau lain yang kurang mendapat penetrasi justru menjadi sasaran perubahan luar
biasa di awal abad 20.
Untuk
mempertahankan posisi mereka, para penguasa Rote hanya melakukan sebuah
perubahan di permukaan. Pada 31 Oktober 1928, para manek Rote ramai-ramai
menyerahkan hak mereka akan gelar ‘Radja’ dan menyetujui penunjukkan seorang
bangsawan Rote dari turunan Fetor, Joel Simon Kedoh, sebagai seorang pejabat
sementara “Radja Rote”. Inilah untuk pertama kalinya dan terakhir kalinya Rote mempunyai
seorang “Radja” tunggal. Joel Simon Kedoh sebenarnya adalah seorang bintang
pelajar Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar
yang dianggap cakap untuk menjadi raja bagi seluruh pulau kecil ini.
Dengan
melakukan ini sebenarnya mereka mengakali Belanda. Mereka tetap mempertahankan
hak untuk memerintah domain mereka dengan gelar “Manek” yang sebenarnya adalah
synonym bahasa Rote untuk “radja. ” Bahkan orang Rote menyebut raja yang baru
terpilih itu sebagai “manek kisek” yang merupakan pujian sekaligus ejekan.[10]
Kata ‘Kisek’ dalam bahasa Rote bisa berarti ‘tunggal’ tetapi juga berarti
‘tersendiri’ atau ‘menyendiri’. Jadi dengan menyebut ‘manek kisek’ bisa berarti
raja tunggal tetapi bisa juga berarti raja yang tersendiri atau raja yang
menyendiri alias raja yang dicuekin.
Perubahan
yang diprakarsai Belanda ini juga merupakan keuntungan bagi beberapa penguasa
dari domain yang lebih kecil yang beberapa dekade sebelumnya telah digabungkan
ke domain yang lebih besar, karena mereka memperoleh kembali posisi
‘tradisional’ mereka.
Dengan
perubahan ini, walaupun ada seorang raja yang berkedudukan di Ba’a, Rote tetap
terbagi menjadi 18 domain (nusak) dengan setiap nusak diperintah oleh
seorang Manek, seorang Fetor, dan sejumlah Temukun. Dan di sini untuk pertama
kalinya Temukun disebut dengan bahasa Rote “Maneleo”. Seluruh Raja-raja Rote
tergabung dalam sebuah dewan yang di sebut Raad van Landshoofden[11]
untuk membantu sang pejabat Raja Rote dalam memerintah.
Ketika sang
Raja Rote meninggal saat Pendudukan Jepang ia tidak digantikan. Sistem
tradisional ini berlanjut selama pendudukan Jepang dan setelah kembalinya
Belanda, dan bahkan dipertahankan sampai dua dekade setelah kemerdekaan
Indonesia dengan sedikit modifikasi. Setelah kemerdekaan, 18 nusak digabung
menjadi empat Kecamatan dimana umumnya Manek dari nusak yang besar menjadi
camat. Walaupun demikian, para raja tetap berkuasa dan sistem pengadilan
tradisional Rote tetap berjalan. Hanya setelah tahun 1968 terjadi perubahan
besar dalam sistem administrasi Indonesia dan sistem tradisional ini
dihapuskan.
Mengapa para
Belanda masih ada di Rote sampai tahun 1949 dan mengapa para Raja masih
berkuasa sampai tahun 1960-an?[12]
Anda tentu
bertanya, mengapa Belanda masih bercokol di Rote sampai tahun 1949 dan mengapa
para raja masih berkuasa di Rote sampai tahun 1960-an? Begini ceritanya:
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia menetapkan untuk sementara wilayah Negara Repuplik Indonesia yang
dibagi dalam 8 propinsi.[13] Setiap Propinsi dibagi lagi atas wilayah
Keresidenan yang dipimpin oleh seorang Residen. Setiap gubernur dan residen
dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Wilayah Swapraja Rote-Ndao dan Swapraja
Sabu-Raijua yang dahulunya disatukan dalam Onder Afdeling Rote-Sabu
berada dalam wilayah Propinsi Sunda Kecil dan wilayah Keresidenan Timor dan
daerah takluknya.
Tiga bulan
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 23 Nopember 1945,
Pemerintah RI menetapkan UU No. 1 Tahun 1945. UU ini mengatur antara lain
wilayah kerja perangkat Pemerintah dimana sebuah propinsi dipimpin oleh
seorang Gubernur, Keresidenan dipimpin oleh Residen, Kabupaten dipimpin oleh
Bupati, Kotapraja dipimpin oleh Wali Kota, Kewedanan dipimpin oleh
Wedana dan Kecamatan (Onder Distrik) dipimpin oleh Asisten Wedana
(Camat). Sayangnya UU ini hanya berlaku di Yokyakarta dan tidak berlaku di
daerah lain yang masih diduduki oleh Belanda termasuk wilayah Rote-Sabu.
Oleh karena
itu, pada tahun 1946 pemerintah Hindia Belanda menempatkan kembali pejabatnya
yaitu seorang Contorleur di Ba’a. Pemerintahan Swapraja Rote-Ndao tetap
bertugas seperti biasa sampai meninggalnya pejabat Raja Rote, Joel Simon Kedoh
pada tanggal 31 Agustus 1948. Pada tahun 1949 terjadilah penyerahan Kedaulatan
kepada Pemerintan RI sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, secara
de fakto penyerahan kedaulatan di daerah Timor terjadi pada tanggal 29
September 1949 antara Residen Ver Hoef dan H.A. Koroh sebagai kepala daerah
Timor.
Pada tahun
1950 wilayah ex Onder Afdeling Rote-Sabu ditetapkan menjadi satu wilayah
setingkat Kewedaan (Distrik) yang dipimpin oleh seorang Kepala Pemerintahan
Setempat (KPS). Zelf Bentuur Rote yang dibentuk berdasarkan ZBR 1938
dirubah namanya menjadi Swapraja Rote-Ndao mengalami kekosongan kekuasaan
karena meningalnya pejabat Raja Rote pada tahun 1948. Selanjutnya di Swapraja
Rote-Ndao dibentuk suatu badan yang bersifat Kolegial yang disebut Dewan
Pemerintahan Daerah Sementara Swapraja Rote-Ndao (DPS Swapraja Rote-Ndao) yang
terdiri dari beberapa raja yang bertugas sejak 1948-1958.[14]
Berdasarkan
UU No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II Kupang,
wilayah Swapraja Rote-Ndao digabungkan dengan Swapraja Sabu-Raijua, Kota
Kupang, Swapraja Kupang, Swapraja Amarasi, Swapraja Fatleu, Swapraja
Amfoang menjadi daerah Swatantra Tingkat II Kupang dengan Ibukota Kupang.
Berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur NTT[15] tertanggal 28 Februari 1962 dan tanggal 9 Juni
1962, Wilayah Swapraja Rote-Ndao dimekarkan menjadi tiga wilayah Kecamatan
yaitu: Rote Timur, Rote Tengah dan Rote Barat.[16] Periode ini merupakan masa
transisi yang sulit bagi orang Rote. Banyak orang belum mempercayai
pemerintahan Indonesia, dan oleh karena walaupun sudah ada camat, raja-raja
tetap memerintah. Perkara-perkara masih diputuskan oleh raja walaupun telah ada
pengadilan negeri di Ba’a. Dalam periode inilah dikenal raja-raja terakhir dari
Rote.[17] Karena sejumlah raja diangkat menjadi camat, maka penggati mereka
segera juga diangkat. Karena ini merupakan masa transisi, para raja terakhir
ini ada yang dipilih oleh rakyat, ada pula yang hanya dipilih oleh para
temukun. Ini penjelasannya mengapa setelah Indonesia merdekapun Belanda masih
ada dan para Raja masih diakui dan berkuasa di Rote.
Sistem
Pemerintahan Rote, Bukan Monarki Absolut
Pulau Rote
terbagi dalam 18 domain otonom yang disebut Nusak[18] yang
dikuasai oleh seorang pemimpin yang disebut Manek[19] yang tugas
utamanya adalah mendengarkan perkara dan memberikan putusan dalam system
pengadilan yang otonom di nusaknya sendiri.[20] Setiap nusak mempertahankan
varian tersendiri dari bentuk hukum adatnya, memelihara dialek tersendiri dan
bangga akan keunikannya dalam kebiasaan tertentu dan dalam hal berpakaian dari
nusak yang lain.
Setiap Nusak
terdiri dari sejumlah klan (leo) yang membentuk unit politik
tradisionalnya.[21] Klan itu terbatas pada satu nusak, tidak ada system klan
yang berlaku untuk seluruh pulau itu. Setiap klan dikepalai oleh seorang kepala
klan yang disebut maneleo yang mewakili klannya dalam pengadilan
kerajaan dan membantu manek dalam memberikan keputusan. Walaupun jumlah klan
dalam setiap nusak tidak selalu berjumlah Sembilan, struktur klan-klan yang
rumit ini secara keseluruhan biasa dirujuk sebagai kelompok ‘sembilan’ (sio),
yaitu angka yang menunjukkan totalitas. Karena itu setiap kepala klan disebut
juga manesio (manek Sembilan). Dalam sejumlah nusak, salah satu kepala
klan disebut juga manedope (manek pisau) yang berfungsi mengumunkan dan
melaksanakan keputusan sang raja.
Rakyat
dibagi dalam dua kelas, bangsawan dan rakyat biasa. Para bangsawan ada dalam dua
klan, klan manek dan klan fetor.[22] Walaupun gelar Fetor ini terdapat di
beberapa tempat di Timor dan kemungkinan besar berasal dari bahasa Portugis,
etymologi tradisional Rote mengatakan bahwa gelar Fetor ini berasal dari bahasa
Rote ‘feto’ yang dalam konteks tertentu berarti ‘perempuan’. Gelar Manek
sendiri berasal dari kata “mane” yang berarti jantan atau laki-laki. Orang Rote
melihat hubungan antara klan Manek dan klan Fetor sebagai polaritas sexual
simbolik. Dalam banyak nusak, kedua klan ini bersatu dalam alliansi affinal
saling menguntungkan.
Semua klan
yang lainnya selain klan Manek dan klan Fetor adalah klan rakyat biasa.[23]
Orang kebanyakan (laus dari kata laus yang bisa berarti ‘busuk’,
‘rakus’, ‘jelek’, ‘penyakit’, ‘tidak beruntung’ dan membentuk sebuah kata kerja
yang berarti ‘melakukan kerja kasar’. [24] Salah satu klan jelata dalam setiap
nusak adalah klan Kepala Bumi (Dae Langak). Dae Langak ini mempunyai
kuasa spiritual atas seluruh nusak, termasuk terhadap klan Manek. Ia mempunyai
hak, dalam kondisi tertentu, untuk menyanggah keputusan raja dan mempunyai
sejumlah hak ritual menyangkut bumi.
Kemenangan
para manek melawan pemerintah Kolonial ini juga membawa konsekwensi bahwa
mereka tetap mengatur mekanisme rekruitmen politik mereka berdasarkan sistem
yang sudah berabad, bukan berdasarkan sistem penunjukkan oleh pejabat Kolonial.
Walaupun seorang raja untuk seluruh Rote ditunjuk oleh Belanda, tapi
manek-manek tetap dipilih oleh rakyat mereka.
Naiknya
seseorang menjadi manek bukanlah berdasarkan keturuan namun berdasarkan
pemilihan. Walaupun para kandidat adalah terbatas pada klan manek, namun manek
haruslah dipilih oleh rakyat melalui pemilihan langsung. Jadi tidak otomatis
seorang Raja anaknya akan menjadi raja berikutnya, karena setiap pergantian
raja haruslah melalui pemilihan.
Contoh Kasus
Nusak Thie
Meskipun
Thie (sekarang menjadi kecamatan Rote Barat Daya) dalam surat-surat VOC
tertanggal 22 November 1660, nusak ini tidak secara formal diakui dalam kontrak
VOC hingga 1690. Dinasty yang sama yang menggunakan nama marga Mesak
(seringkali ditulis dengan gaya Belanda kuno ‘Messakh’) telah menguasai Thie
sejak pengakuan oleh VOC ini.[25] Fox menyebut dua orang raja Thielah yang
telah melakukan inovasi yang kemudian merubah seluruh Rote. Di tahun 1729, raja
Mbura Mesa masuk Kristen dan anaknya Foe Mbura (atau Benjamin Messakh) yang
menggantikannya setelah itu mendeklarasikan Thie sebagai negara Kristen dan
mendirikan sekolah lokal berbahasa Melayu pertama di Rote.
Nusak Thie
terbagi dalam 26 klan, 14 tergabung dalam moety manek yaitu disebut Sabarai, 12
klan tergabung dalam moiety Taratu yaitu moety Fetor. Klan-klan ini, baik yang
tergabung dalam Sabarai atau Taratu, masih dibedakan lagi menjadi Leo
Inak (klan besar), dan Leo Anak (klan kecil). Pembedaan ini tidak
ada hubungannya dengan jumlah anggota klan melainkan lebih kepada pembedaan
antara “bangsawan” dan “orang biasa”.
Walaupun semua klan di Thie
…klan-klan besar dalams setiap moiety mengakui hubungan geneologis yang lebih
dekat satu sama lain. Namun di antara setiap kelompok klan besar ini terdapat
pembagian lebih kecil lagi yang mempunyai signifikansi politik. Lima dari
delapan klan besar dalam grup Sabarai membentuk grup yang disebut
Pandi-Anan (Anak-anak Pandi) sementara enam dari delapan klan besar dalam grup Taratu
membentuk kelompok yang disebut sebagai Moi-Anan (Anak-anak Moi) dan empat dari
enam klan dalam Moi-Anan ini membentuk sebuah kelompok lain yang disebut
Boru-Anan (Anak-anak Boru).
Menurut
tradisi, anggota-anggota Boru Anan (Leo Nalle Feo, Mesa Feo, Tode Feo dan Ndana
Feo) mempunyai hak untuk memilih atau setidaknya meratifikasi pemilihan seorang
Manek baru dan para anggota Pandi-Anan mempunyai hak yang sama untuk
memilih seorang Fetor baru. Selain itu akan dipilih tiga orang saksi
dari leo-leo lain secara acak. Paling sering saksi dipilih dari klan Keka Dulu
yang dianggap netral. Sejak terbentuknya Swapraja Rote-Ndao di tahun 1945,
pemerintah swapraja juga mengirimkan seorang pengamat dari Ba’a pada saat
pemilihan raja.
Manek
dipilih dari klan Mbura Lae, atau keluarga Messakh yang berdiam di tiga wilayah
di Nusak Thie yaitu dari Ngoro Dulu (Keluarga Messakh di Oebatu), Ngoro Muri
(keluarga Messakh di Oebafok) dan Ngoro Kona (keluarga Messakh di Batutua).
Entah sejak
kapan pemilihan raja ini dilakukan oleh setiap rumah (uma) yang diwakili
oleh kepala rumah tangga. Uma adalah unit terkecil dari sebuah klan.
Biasanya setelah sekian kandidat ditetapkan, maka akan diadakan pemilihan.
Pemilihan ini berlangsung secara terbuka, dan setiap pemilih akan memilih
calonnya dengan memasukkan batu kerikil ke dalam wadah yang terbuat dari
anyaman daun lontar yang di sebut kapisak atau lapaneuk.
Karena
diadakan secara terbuka, sang pemilih tentu harus menyingkirkan segala kekhawatiran
dan rasa sungkan untuk memilih calon yang ia sukai.
Kebiasaan berbeda pendapat
dan berperkara di kalangan orang Rote turut membentuk kepribadian mereka dimana
mereka tidak akan takut berbeda walaupun dengan kerabat sendiri. Misalnya,
walaupun paman seorang pemilih adalah kandidat raja, namun ia belum tentu
memilih pamannya. Dan itu kadang dilakukan secara terbuka. Bisa dibayangkan
bagaimana tingkat kedewasaan politik yang dibutuhkan dalam pemilu seperti ini.
Memasuki
abad 20, pemilihan sudah diadakan dengan sistem kartu dan cap jempol dimana
tiga orang calon diberi nomor dalam sebuah daftar, kemudian para pemilih akan
membubuhkan cap jempol mereka pada kolom calon yang mereka pilih.
Sayangnya,
di era Orde Baru, pemilu ini dikebiri. Rakyat masih boleh memilih secara
langsung anggota DPR mereka namun pemilihan para pejabat eksekutif dilakukan
oleh DPR. Kemudian di Era Reformasi muncul kembali harapan dimana
pemilihan umum legislative maupun eksekutif dilakukan oleh rakyat. Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia baru saja melakukan kebodohan yang bahkan tidak
dilakukan masyarakat tradisional Indonesia dari pulau terpencil di sebelah
selatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
pertarungan di parlemen pasca terpilihnya Joko Widodo dan Yusuf Kalla,
sebernarnya baik Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat bisa
menerapkan politik ala Rote ini, namun nampaknya mereka menyukai bermain kasar
dan tanpa malu-malu. [S]
Referensi
James Fox, (1971) ‘A Rotenese Dynastic
Genealogy: Structure and Event’ dalam The Translation of Culture, T.O.
Beidelman (ed), London: Tavistock, hal.37-77.
James Fox,(1980) ‘Obligation and Alliance:
State Structure and Moiety Organization in Thie, Roti’ dalam Fox (ed.), The
Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia, Harvard University Press, hal.
98-133.
James Fox,(1983) ‘For Good and Sufficient
Reasons: An Examination of Early Dutch EastIindia Company Ordinances on Slave
and Slavery’ dalam Anthony Reid (ed.), Slavery, Bondage and Dependency in
Southeast Asia, NY: St. Martin’s Press, hal. 246-262.
James Fox, (2007), Traditional Justice and
‘Court System’ of the island of Roti, The Asia Pasific Journal of
Anthropology, 8:1, hal. 59-73.
Benjamin
Messakh, Rote dalam
Jangkauan Jaman, [belum dipublikasikan]
CATATAN KAKI
[1] Pada
tahun 1770 sebuah ordonansi budak dikeluarkan oleh VOC yang melarang perbudakan
terhadap orang Kristen. Namun Ordonansi perbudakan pertama kali dikeluarkan VOC
pada 4 Mei 1622 yang menurut Fox telah berkontribusi terhadap pembentukan kelas
Kristen pribumi yang terpisah dari orang Eropa yaitu para mardijkers dan juga
berimplikasi pada aturan-aturan mengenai hubungan dengan kerajaan-kerajaan
pribumi di Indonesia timur termasuk dengan Rote. Dalam hukum Belanda, rakyat
dari “penguasa Kristen” pertama di Rote tidak boleh dijadikan budak oleh
kerajaan-kerjaan tetangga yang melakukan perburuan budak. Lihat James Fox, ‘For
Good and Sufficient Reasons: An Examination of Early Dutch EastIndia Company
Ordinances on Slave and Slavery’ dalam Anthony Reid (ed.), Slavery, Bondage and
Dependency in Southeast Asia, NY: St. Martin’s Press, hal. 253.
[2]James
Fox, ‘Obligation and Alliance: State Structure and Moiety Organization in Thie,
Roti’ dalam Fox (ed.), The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia,
Harvard University Press, h. 106; Fox (2007), Traditional Justice and ‘Court
System’ of the island of Roti, The Asia Pasific Journal of Anthropology,
8:1, hal. 60.
[3] James
Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy: Structure and Event’ dalam The
Translation of Culture, T.O. Beidelman (ed), London: Tavistock, 1971. hal.
58.
[4]Ibid: 40.
[5] Fox,
‘Obligation and Alliance’ h. 104; Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy:
Structure and Event’ dalam The Translation of Culture, T.O. Beidelman
(ed), London: Tavistock, 1971. h 40.
[6] Temukun
berasal dari bahasa Jawa, ‘Tumenggung’.
[7] Istilah
‘radja’ baru terapkan oleh Belanda dalam dokumen-dokumen resminya pada awal
abad 19, dan istilah yang diambil dari bahasa Melayu yang berasal dari India
ini cukup mempengaruhi konsep tentang para pemimpin tradisional di Indonesia
sampai sekarang. Menurut hemat penulis, dalam membahas tentang para
pemimpin-peminpin tradisional di Indonesia sebaiknya digunakan istilah asli
dipakai penduduk mengingat keunikan konsep dan praktek dalam pemerintah
tradisional. Dengan menggunakan raja pikiran kita akan menuju kepada istilah
“King” atau “Koning” dalam pengertian Eropa yang sebenarnya jauh berbeda dalam
level definisi maupun praktis. Oleh karena itu sebaiknya digunakan istilah yang
asli untuk menghindari misinterpretasi. Dengan demikian maka di gunakan saja
istilah “Manek” atau misalnya di Timor sebaiknya digunakan saja istilah
“Liurai” atau “Usif.”
[8]
Fox, ‘Obligation and Alliance’, hal. 104.
[9]
1968: hal. 64.
[10]
Wawancara dengan Benjamin Messakh, BA. (alm).
[11] Secara
harfiah dapat diterjemahkan dengan ‘Dewan Para Kepala Negeri’, namun lebih
populer diterjemahkan dengan ‘Dewan Raja-raja’.
[12] Saya
berhutang pada bagian ini sebagian besar dari tulisan Benjamin Messakh yang
belum diterbitkan: Rote Dalam Jangkauan Zaman.
[13] Kedepan
Propinsi itu adalah: Jawa Barat dengan Ibukota Bandung, Jawa Tengah dengan
Ibukota Semarang, Jawa Timur dengan Ibukota Surabaya, Sumetera dengan Ibukota
Bukit Tinggi, Borneo dengan
Ibukota Banjarmasin, Sulawesi dengan Ibukota Makasar, Sunda Kecil dengan Ibukota
Singaraja, Maluku dengan Ibukota Ambon.
[14] DPS
Swapraja Rote-Ndao adalah sebagai berikut:
Tahun
1948-1952: Raja
Korbaffo, Ch. P. Manubulu (ketua) dengan anggota-anggota: J. W. Messakh (Raja
Thie) dan dua orang lagi yang belum diketahui oleh penulis.
Tahun
1952-1954: Raja
Talae, Mesak Mesah Saudale (ketua) dengan anggota-Anggota: Nehemia Daud (Raja
Ringgou), Marthen Lenggu (Raja Bilba), dan seorang lagi yang belum diketahui.
Tahun
1954-1955: Raja
Ringgou Nehemia Daud (Ketua), Ishak Dae Panie (Raja Ba’a ), Hendrik Hanok
Lenggu (Raja Oenale) dan seorang lagi yang belum diketahui.
Tahun
1956-1957: Raja
Korbaffo, Ch. P. Manublu (Ketua), Marthen Lenggu (Raja Bilba), Ishak Dae
Panie ( Raja Ba’a ), dan seorang lagi yang belum diketahui.
Tahun
1957-1958: Raja
Korbaffo, Ch. P. Manublu (Ketua), Nehemia Daud (Raja Ringgou), W. St. Mbate
Mooy (Wakil Raja Thie), Jacobus Lasarus, dan Albert Dillak.
[15]
Keputusan Kepala Daerah Tingkat-I Nusa Tenggara Timur No. Pem.66
/1/2 Tanggal 28 Februari 1962 dan No. Pem. 6 /1/33 tanggal 9 Juni 1962.
[16] Kecamatan
Rote Timur meliputi Nusak Landu, Ringgou, Oepao, Bilba, Diu, dan Korbaffo
dengan Ibukota Eahun, dengan Samuel Sadrak Bokotei sebagai Camat pertama; Kecamatan
Rote Tengah meliputi Nusak Termanu, Bokai, Lelenuk, Keka, Talae, Loleh, dan
Ba’a, dengan Ibukota Ba,a dengan camat pertama E. Y. I. Amalo; Kecamatan
Rote Barat meliputi Nusak Lelain, Thie, Dengka, Delha, Oenale, dan Ndao
dengan Ibukota Oelaba dengan camat pertama Yacobus Arnoldus Messakh.
[17] Di
Nusak Ringgou/Rikou, Raja Nehemia Daud yang berkuasa sejak tahun 1926,
diangkat menjadi anggota dan ketua DPDS Swapraja Rote Ndao pada tahun 1962,
sehingga ia digantikan sebagai raja oleh Samuel Daud yang berkuasa tahun
1962-1972; di Nusak Oepao, Zakarias Sjion adalah raja tekahir yang berkuasa
tahun 1964-1969; Di Nusak Landu, raja terkahir adalah Marthen Matheos Johannis
(1959-1972); di Nusak Bilba, Raja Marten Lenggu yang berkuasa sejak tahun 1948
diangkat menjadi anggota DPS Rote pada tahun 1960 dan digantikan oleh
Arnoldus They (1960-1972); Raja terkahir Nusak Diu adalah Paulus Albert Manafe
(1960-1972); Raja terakhir Nusak Korbafo adalah Christian Paulus Manubullu (1926-1972); Raja terakhir Lelenuk adalah Josepus
Daud Daik (1965-1972); Di Nusak Termanu Raja Ernest Johanis Jermias Michel
Amalo (1946-1962) diangkat menjadi Camat Rote Tengah dan digantikan Wakil Raja
Frans Bire Doko, (1962-1964) dan dari tahun 1969-1972 diangkat Raja terakhir
Jhon Fritz Amalo; Raja terakhir Nusak Keka adalah Thobias Malelak (1927-1974)
dan sejak tahun 1962 tugas Raja dilaksanakan oleh Welhelmus Malelak sebagai
wakil raja; Raja terakhir Nusak Talae adalah Mesak Mesah Saudale (1922-1972);
Raja terakhir Nusak Bokai adalah Herman Dupe (1962-1972); Raja terkahir Nusak
Lole adalah Salmun Paulus Suido Dillak (1938-1972); Raja terakhir Nusak Ba’a
adalah Abia Zakarias Mandala (1966-1972); Raja terakhir Nusak Lelain adalah
Junus Bessie (1966-1972); Raja terkahir Nusak Dengka adalah Kristofel
Aleksander Tungga (1957-1962); Raja terakhir Nusak Thie adalah Thobias Arnoldus
Messakh (1962-1972); Raja terkahir Nusak Oenale adalah Th. Dethan (1961-1972);
Raja terakhir Nusak Delha adalah Abner Ndun (1935-1972); Raja terakhir Nusak
Ndao adalah Ferdinand Baun (1945 – 1968). Lihat Benjamin Messakh, Rote dalam
Jangkauan Jaman [belum diterbitkan].
[18] James
Fox menggunakan dua istilah yang bergantian untuk nusak yaitu “domain”
dan “state.” Nusak-nusak itu adalah: Delha, Oenale, Thie, Dengka, Lole,
Lelain, Ba’a, Termanu, Keka, Talae, Bokai, Lelenuk, Diu, Korbafo, Bilba, Oepao,
Ringgou dan Landu.
[19] Fox
menggunakan istilah “Lord” untuk Manek.
[20] Untuk
system pengadilan Rote lihat James Fox, “Traditional Justice and the ‘Court
System’ of the Island of Rote” hal. 59-73
[21] Uraian
tentang system klan ini dasarkan pada Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy’,
hal. 40-42.
[22] Ada
tiga nusak kecil, Delha, Oenale dan Lelenuk tidak mempunyai fetor. Nusak-nusak
ini terbentuk karena perpecahan antara manek dan fetor. Di nusak kecil
lainnya, Talae, Fetor telah menggantikan sang Manek dan mengusai nusak itu
–sebagai Fetor—secara permanen.
[23] Contoh
klan manek dan klan fetor bisa di lihat di dua nusak besar yaitu Termanu dan
Thie. Di Termanu, klan manek adalah Masa-Huk dan klan fetor adalah Kota-Deak.
Klan lain yaitu Meno, Sui, Kiu-Kanak, Ingu-Beuk, Nggofa Laik, Dou-Dangga,
Ingu-Fao, Ulu-Anak dan Ingu-Nai adalah klan rakyat kebanyakan. Klan Meno adalah
klan para Dae-Langak.
[24] Op.cit.
41
[25]
Fox, ‘Obligation and Alliance: State Structure: 121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar