Rabu, 03 Desember 2014

SEJARAH SINGKAT HADIRNYA INJIL DI PULAU ROTE







Pada awal abad ke 17, tepatnya pada tahun 1729 ketika  FOE MBURAdiangkat dan dilantik menjadi Raja Nusak Thie ke V  (1729 – 1746) menggantikan ayahnya MBURA MESA, Raja Nusak Thie ke IV (1685 – 1729) saat itupun seiring dengan pemimpin militer Inggris yang terkenal dan brilian (Oliver Crom Well), dimana pada saat itu negeri terselatan Asia Pasifik ini di bawah jajahan kerajaan Balanda, sungguh berada dalam suatu keberadaan yang sangat memprihatinkan karena masyarakat pribumi di negeri terselatan Asia Pasifik ini belum mengenal huruf, belum tahu membaca dan menulis bahkan jauh tertinggal dan belum mempercayai adanya Tuhan Allah Tri Tunggal (senantiasa menyembah berhala/Dintiu), sehingga sering terjadi peperangan dan pencurian serta pembunuhan antar Suku dan antar Nusak/Kerajaan yang menelan banyak korban baik manusia maupun harta benda.

Pada saat akhir masa jabatan Raja ke IV, Mbura Mesa (ayah FOE MBURA), beliau mendapat sebuah tongkat berkepala perak dari Pemerintah Hindia Belanda (VOC) dengan tulisan POURA MESA RADJA VAN THIE 1726 karena berhasil memimpin Kerajaan Thie saat itu dan dapat menekan pemberontakan, Pencurian, Pembunuhan dan peperangan antar suku/Nusak di kerajaan Thie khususnya.

Dengan demikian setelah FOE MBURA (Raja ke V) Nusak Thie dilantik, yang adalah anak dari Mbura Mesa (Raja ke IV), Ia merencanakan dan berupaya agar kedepan Rakyatnya keluar dari keadaan seperti apa yang dialami kakaknya Mbura Mesa, bahkan lebih dari itu ia sendiri memiliki suatu pandangan yang jauh ke depan yang cukupbrilian dan spektakuler dimana ia menginginkan rakyat Nusak Thie bahkan rakyat Nusa Lote pada umumnya dapat hidup sehat, aman, damai, sentosa, makmur serta dapat mengenal huruf, bisa membaca, menulis, berhitung dan percaya adanya  Tuhan Allah Tri Tunggal sehingga tidak buta huruf, tidak mencuri, tidak membunuh, tidak berperang lagi antar sesama Suku serta hidup rukun, aman, damai, makmur dan sentosa di dalam Nusak yang diartikan dalam bahasa ibu (Sangga Ndolu sio, ma tungga lela falu) seiring dengan ilmuwan terkemuka ( Matematika) saat itu di Inggris yakni Isaac Newton.

Atas dasar pemikiran dan pandangan di atas maka pada Medio 1729 FOE MBURA berupaya membuat sebuah bahtera/perahu yang mirip dengan kapal Nina,Pinta dan Santa Maria (Pinisi) di abad ke 15  yang dibantu oleh orang Sulawesi (Bugis – Makasar) dan diberi nama Sangga Ndolu (Cari Damai) mana kala nama itupun diberikan oleh seorang anak gembala bernama Resi Boru.

Untuk diketahui pula bahwa seiring berjalannya waktu setelah bahtera tersebut dibangun, maka pada medio 1730 berangkatlah 25 anak negeri Nusak Thie termasukNdi’i Hu’a (Raja Lole/sebagai kunyadu/ipar  kandung FOE MBURA) dan Tou Dengga Lilo (Raja Ba’a) serta Ndara Naong (Raja Lelain)    dimana keduanya  sebagai anak mantu FOE MBURA termasuk Pandi Mbura yang adalah adik kandung FOE MBURAdan dibawah pimpinan FOE MBURA  memulai pelayaran perdana ke batavia melaluiPelabuhan OEmasik sekarang Sangga Ndolu selama lebih kurang dua Bulan Perjalanan dan dalam pelayaran tersebut ikut pula (Resi Boru) sang pemberi nama bahtera tersebut dalam misi pencari damai ke Batavia (Matabi/dialeg Thie) Jakarta sekarang.

            Di dalam pelayaran perdana tersebut sebelum bahtera Sangga Ndolu tiba di pelabuhan Batavia bahtera tersebut menyinggahi sebuah pulau kecil yang mirip dengan pulau Rote karena terdapat juga banyak pohon lontar (tuak) yang ada di Nusak Thie/Nusa Lote yang adalah merupakan Pohon Kehidupan (Tree of live) bagi orang Rote, maka turunlah beberapa orang untuk melihat keadaan pulau tersebut termasukPandi Mbura  (adik FOE MBURA) sambil mencari sumber air untuk menambah persediaan menuju pelabuhan harapan Batavia dan ternyata Pandi Mbura  merasa tertarik akan pepohonan lontar yang ada disana lalu berdiamlah Pandi Mbura di Pulau tersebut yang namanya Pulau Sabu (Nusa Savu) dan tidak mau mengikuti rombongan kakaknya ke Batavia, hingga sekarang dimana salah satu turunannya adalah keluarga Riwu Kaho dari oyangnya Pandi Mbura (Padi Bura/dialeg Sabu) maka waktu itulah FOE MBURA kehilangan seorang adik kandung.

            Dikala misi pencari damai itu tiba di Batavia, FOE MBURA bertemu dengan Gubernur Hindia Belanda saat itu (Gubernur Jenderal Mr. Diria Van Cloon) dan ia melaporkan tentang keadaan dan keberadaan rakyat nusak Thie khususnya dan rakyat Rote pada umumnya yang masih   sangat miskin, bodoh, buta huruf, tidak berpendidikan dan belum mengenal ALLAH TRI TUNGGAL sehingga senantiasa terjadi pencurian, pembunuhan dan peperangan antar suku  dan nusak yang banyak menelan korban jiwa dan harta benda. 

Alhasil kedatangan mereka disambut baik oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan kepada  FOE MBURA di bekali Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Pemerintahan serta pengetahuan akan Injil (Kepercayaan kepada Jesus Kristus)sebagai bekal untuk melanjutkan dan meningkatkan taraf hidup rakyat Thie pada khususnya dan Rote pada umumnya. 

Selama berada di Batavia tepatnya pada bulan purnama di medio tahun 1732, FOE MBURA di baptis oleh Tuan DIDERIK DURVEN(Pendeta Belanda) dengan nama Benyamin Messakh dan pada akhir tahun 1732 anak-anak pencari damai dari negeri terselatan Asia Pasifik ini dibawah pimpinan Raja ThieFOE MBURA mengangkat sauh/jangkar   dan mengepak layar bahtera Sangga Ndolu bertolak kembali menuju Nusa Fua Funi, Nusa Ndalu Sita, Nusa Lote tercintadengan membawa seperangkat Ilmu Pengetahuan dan Rohani berupa Alkitab/Injil, Buku Tulis, Batu Tulis dan alat tulis (mata pena/kapur tulis), tinta, sebuah meriam, sebuah kursi Raja, sebuah Tongkat berkepala Emas dan 2 (dua) buah  lonceng gereja yang sampai saat ini masih dipergunakan oleh Gereja TudamedaNusak Thie dan Gereja Menggelama Nusak Ba’a sebagai pemberian dan tanda terima kasih Pemerintah Hindia Belanda atas kunjungan anak negeri terselatan Asia Pasifik tersebut.

            Pada saat keberangkatan bahtera dan rombongan anak negeri dari Batavia untuk kembali ke Nusa Lote, ditinggalkanlah seorang anak negeri yang juga adalahKepala Suku Kana Ketu yang dijadikan sebagai tumbal untuk kembalinya rombongan pencari damai dari Batavia ke Nusa Lote, karena pada saat keberangkatan ke Batavia dari Pelabuhan OEmasik/Sangga Ndolu, seorang anak gadispun  (Pingga Ngga) telah dijadikan sebagai korban persembahan atau tumbal untuk keberangkatan misi itu ke Batavia, namun sebelum bahtera dan rombongan anak negeri tersebut tiba di Pelabuhan Sangga Ndolu Rote, yang namanya Kepala Suku Kana Ketu yang ditinggalkan di Batavia  untuk menjadi  tumbal persembahan di maksud, telah berada pula di Pelabuhan Sangga Ndolu dan menurut ceritera legenda, yang bersangkutan mempergunakan ikan hiu sebagai alat transportasi, sehingga sampai dengan saat ini keluarga dari Suku Kana Ketu tidak memakan daging ikan hiu (Sang penolong bagi suku Kana Ketu), dan ternyata sebagai pengganti tumbal kepulangan rombongan ke Nusa Lote/ Pelabuhan Sangga Ndolu adalah satu-satunya anak kandung / Putera Tunggal Raja FOE MBURA(Henu FoE) yang menjadi korban (meninggal dunia).

Oleh karena itu pada saat bahtera tersebut merapat di Pelabuhan Sangga Ndolu,FOE MBURA tidak rela untuk turun dari bahtera tersebut ke Nusa Fua Funi / Pelabuhan Sangga Ndolu, karena ia mendengar kabar bahwa putera   tunggal satu-satunya (Henu Foe) telah di panggil Sang Pencipta, maka isak tangis FOE MBURA dan semua anak negeri di bahtera sangga Ndolu tersebut terdengar sampai ke bibir pantai Sangga Ndolu dan juga para tua-tua adat, maneleo, sanak keluarga dan masyarakat Thie yang berada di Pantai/Pelabuhan Sangga Ndolu yang dirundung mendung kelabu serta diselimuti  isak tangis yang merebak di sepanjang pantai Fiulain sambil terdengar tuturan adat yang memilukan dari hati seorang Raja FOE MBURA karena kehilangan adik kandungnya dan juga putra tunggalnya dengan tuturan adat sebagai berikut : “Balun neu tungga baukoli, ma neu sangga tui sina, de balun ana di’u dua, te lurik neni mbule ulu, ma sangga neni boa sosan, de nasakedu ma mamatani boa sosan ma mbule ulu” yang artinya “Pada saat kami berangkat ke Batavia adik saya Pandi Mbura turun di tanah orang (pulau Sabu) dan terpisahlah dari rombongan kami (saya kehilangan adik Pandi Mbura), dan kini saat kami  kembali dan tiba di nusa     fua funi, anakkuHenu FoE dipanggil kembali ke pangkuan Sang Pencipta (saya kehilangan lagi anak kandung), mungkin Tuhan tidak mengijinkan saya untuk kembali lagi di Fiulain Nusak Thie, jadi biarlah saya bersama dengan semua anak negeri yang berada di dalam bahtera ini melanjutkan perjalanan kami entah kemana di bawa angin dan desiran ombak, mungkin kesanalah akan kami melabuhkan bahtera kami,

……………  n    a    m    u    n  ……………

semua tua adat, tokoh masyarakat dan anak-anak di  NUSAK THIEmembunyikan nafiri (Toik), Tambur (Labu), Gong (Meko) disertai tangisan yang keras dengan tuturan adat yang mengatakan: “ Boso masake’du ma boso mamatani, te Pandi Mbura ana sambu, ma Henu FoE ana lalo, te hu bei ela falu ina nusak thie, ma ana mak inggu sepelangga, de bei ramahena neu ba’u koli, ma rakabani neu tui sina, de hema metipinu ma hari mama’da  o lun, te ha’dak nae o sama leo lamatuak, ma amak, ma meser de konda leo, fo ko’o malan ka’a fadi, te’o ina, ma ifa mala falu ina ma ana mak, fo leo   be na, lamatuak fe baluk mai tia meti fo konda ela baluk leo, te ta na ai basan dadi neu ana mak sama leo koana sepelangga, ma ai falu ina deta leo nggia ana timu dulu, de   neu ko ai neni ndundu tofak, ma ai sambu lalo, de konda leo  lamatuak susuek” artinya  bahwa kalau Tuan tidak turun di Nusa Fua Funi Nusak Thiemaka pasti kami akan kehilangan  seorang ayah, Raja, Guru dan Pelaut juga sebagai pengayom dan pelindung anak-anak negeri Nusak Thie dan akhirnya kamipun akan menjadi piatu dan tidak mempunyai ayah, Raja dan Guru serta apa-apa lagi dan pada gilirannya kami semuapun akan susah sengsara dan mati nantinya”.

            Setelah sang Raja mendengar rintihan dan tangisan anak negeri yang disertaiToik, Tambur dan Gong di Fiulain, tersentaklah dan luluh lantahlah hati sang Raja, maka dengan hati yang penuh duka cita yang dalam, turunlah Sang Raja yang diusung diatas sebuah kursi yang dibawanya dari Batavia dan disambut oleh Tokoh adat, 25 Tokoh Adat  (Maneleo) Nusak Thie bahkan sanak saudara di sertai bunyi to’ik, tambur dan gong serta ratap tangis atas kembalinya FOE MBURA dari Batavia di nusa fua funi Fiulain.

            Selama berada di Fiulain Nusak Thie, Raja FOE MBURA memulai mengimplementasikan Ilmu Pengetahuan yang dibawanya dari Batavia dengan membangun Sekolah umum dan Agama pertama di Fiulain pada akhir tahun 1732 dan pada medio 1733 Pendidikan pertama di buka untuk kalangan anak-anak raja se nusak Rote sebanyak 74 orang sedangkan pada tahun 1734 dibuka untuk kalangan umum yang kemudian berkembanglah pendidikan dan injil secara luas di pulau Rote, Timor, Alor, Flores, Sabu hingga saat ini.

Untuk diketahui pula bahwa setelah sekolah Injil/Alkitab pertama di Fiulain pada abad ke 18 tepatnya 1732, maka secara bertahap dan seiring perkembangan zaman dan waktu berpindahlah sekolah Alkitab dari Fiulain ke Negeri Timor Tengah Selatan (Soe) pada awal abad ke 19  dan sesudah itu berpindah lagi ke Tarus Kabupaten Kupang dan di akhir abad 19 menjadi Sekolah Tinggi Theologia di OEsapa Kota Kupang dan sesudah itu berkembang lagi menjadi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (1985) hingga saat ini, sehingga di sinilah FOE MBURA pantas dan layak dijuluki sebagai Raja, Guru dan Penginjil (Pembawa berita Injil) dan Pelaut yang unggul dari negeri terselatan Asia Pasifik (Nusa Sejuta Lontar, Rote Ndao tercinta).

Oleh karena itu kami anak cucu Nusak Thie pada khususnya dan anak cucu Nusa Rote, (Nusa Sejuta Lontar) pada umumnya patut memberikan Proficiatyang setinggi-tingginya kepada FOE MBURA yang sudah berperan sebagai Raja, Guru, Penginjil (Pembawa Injil), dan Pelaut yang unggul itulah inilah impian yang brilian dan spektakuler  FOE MBURA setelah ia di lantik menjadi Raja ke V Nusak Thie benar-benar dapat tercipta dan berangsur-angsur mengantar masyarakatnya keluar dari dunia yang gelap dan menjadi anak-anak terang (FOE MBURA mendi manggaledok soa ita basa nai nusa  Rote/dialeg Rote), bahkan banyak Pendeta dan Guru yang berkiprah sampai ke ujung Nusantara ini adalah cikal bakal dari Fiulain yang di bawa dan disebar oleh   FOE MBURA dari Batavia.

            Oleh sebab itu tempat dimana kita berpijak saat ini di sini (Bukit Fiulain) patut dijadikan sebagai momentum religius yang monumental yang terkandung makna terdalam bagi Pertumbuhan Iman Kristiani khususnya sehingga patutlah tempat yangberbasis religious ini menjadi destinasi wisata Pilgrim / rohani di Indonesia bagian Timur pada umumnya dan NTT pada khususnya, yang artinya ada kaitannya dengan agama, sejarah, adat – istiadat dan kepercayaan umat/sekelompok masyarakat atau masuknya injil di Pulau Rote.

            Pada akhirnya kami sebagai Penerus dan Penulis masuknya Injil ke Pulau Rote yang di bawa oleh Moyang kami FOE MBURA, sungguh menyadari bahwa kesempurnaan itu berada pada Yang Maha Kuasa dengan suatu harapan mungkin goresan/tuturan hati Buyut FOE MBURA ini dapat menggugah dan mengingatkan kembali etos kepahlawanan seorang FOE MBURA yang adalah Raja, Guru, Penginjil dan Pelaut yang unggul terhadap masyarakat Rote Ndao khususnya bahkan sebelum lahirnya NKRI tercinta, semoga bermanfaat.

            Demikianlah sejarah singkat hadirnya Injil di Pulau Rote melalui gerbang selatan Asia Pasifik, Fiulain Nusak Thie, Nusa Sejuta Lontar, Rote Ndao tercinta.

            Kiranya Tuhan Jesus memberkati.

Tua su’uk-OEbafok, 07 Juni  2010

Buyut FOE MBURA,



Jersy Weltry Messakh
Wakil Maneleo Mburala’e

Tidak ada komentar:

Posting Komentar