Pulau
Rote memiliki banyak nama. Di dalam arsip pemerintahan Hindia Belanda, pulau
ini ditulis dengan nama Rotti atau Rottij” kemudian menjadi “Roti”. Akan
tetapi, masyarakat Rote yang mempunyai sembilan dialek dan seringkali mereka
menyebut pulau ini “Lote”, khusus bagi mereka yang tidak bisa menyebut huruf
“R”. Masyarakat Rote lainnya menyebut pulau ini dengan nama “Lolo
Deo Do Tenu Hatu” yang artinya Pulau yang Gelap. Ada juga yang menyebut “Nes Do
Male” yang artinya Pulau yang Layu/Kering (Otta, 1990:10) dan ada juga yang
menyebut dengann “Lino Do Nes” yang berarti Pulau yang Sunyi (Naladay,
1988:14).
Sementara itu Soh (2008:1) mengutip sebuah buku berbahasa Belanda yang berjudul Land Taal & Volkenkunde Van Nederlands Indie (terbit Tahun 1854) dinyatakan bahwa pada + abad 3 sesudah penduduk mendiami Pulau Rote, di sebelah utara timur laut Pulau Rote muncul kapal-kapal Portugis sedang buang jangkar dan mereka turun ke darat karena membutuhkan air tawar untuk minum di kapal.
Di pantai, mereka bertemu dengan seorang nelayan dan
bertanya, “Pulau ini bentuknya bagaimana?” Nelayan ini menyangka bahwa mereka
menanyakan namanya, nelayan ini menjawab, “Rote” (Rote is Mijn Naam). Nahkodah
kapal Portugis ini menyangka bahwa bentuk pulau itu Rote, segera ia menamakan
pulau itu Rote. Demikian seterusnya pulau ini disebut Rote. (Een Landschen
School Messter, 1854-4).
Sayangnya, Soh tidak mengungkapkan secara lengkap
sumber acuan pertama, karena itu apa yang dikemukakan oleh Soh dalam bukunya
patut diragukan tingkat kebenarannya, kecuali Soh menyebutkan sumber acuannya
secara lengkap, terutama sumber pertama yang menjelaskan tentang dialog antara
nahkoda Portugis dan nelayan Rote, minimal ada nama dari kedua orang tersebut,
tanggal kejadian bisa disebutkan.
Lebih jauh, Fox (1996:25-26) mengatakan, dalam dokumen Portugis pada abad ke-16 dan ke-17 tercantum berbagai nama seperti “Rotes”, “Enda”. Di dalam peta Belanda, mula-mula pulau ini disebut “Rotthe”, yang oleh ahli peta kemudian dikutip secara salah menjadi “Rotto”. Namun, dalam salah satu peta pada awal abad tujuh belas, pulau ini disebut dengan nama pribumi “Noessa Dahena” (Nusa Dahena) yang berasal dari dialek Rote di bagian timur yang secara harafiah berarti “Pulau Manusia”. Kecuali dalam peta tersebut, nama itu tidak dipakai lagi. Pada pertengahan abad ke-17, Persatuan Dagang Hindia Belanda dalam dokumen-dokumennya menggunakan nama “Rotti” dengan tiga ejaan yang berbeda yaitu “Rotti”, “Rotty” dan “Rotij”. Sebutan resmi ini terus dipergunakan sampai pada abad ke-20 dan diubah menjadi “Roti.”
Selanjutnya Fox (1986, 1996) menguraikan, nama “Roti” adalah perubahan bahasa Melayu dari “Rote”, suatu perubahan yang menimbulkan suatu permainan kata yang tidak berarti dan sudah usang dari kata “roti” yang kebetulan dalam bahasa Indonesia berarti ‘makanan yang dibuat dari tepung terigu’. “Rote” lebih sering digunakan dalam bahasa sehari-hari akan tetapi hal ini menimbulkan persoalan pula karena \r\ dan \l\ digunakan berganti-ganti di dalam sembilan bahasa daerah yang terdapat di Pulau Rote. Oleh karena itu, ada juga yang menyebut pulau ini “Lote”.
Dalam dokumen resmi
pemerintah yang berasal dari pulau ini menggunakan nama “Rote”, sedangkan
sebagian besar dokumen-dokumen pemerintah pusat memakai nama “Roti”. Nama
ini-lah yang digunakan dalam peta Indonesia pada umumnya maupun peta-peta dunia
saat ini. Tetapi, orang Rote maupun warga Nusa Tenggara Timur pada umumnya
telah lama menggunakan nama “Pulau Rote” dan nama ini lebih populer dan
familiar bagi warga Nusa Tenggara Timur. Nusa Lote le Malole.
Sumber :
Fox, James J. (1996). Panen Lontar, Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Naladay, A.Z. (1983). Aneka Kebudayaan Suku Bangsa Rote. Kupang: Museum Daerah NTT
Otta, C.E. (November 1990). Rote Nusa Sasando. Kupang: Media
Soh, Andre Z & Maria N.D.K. Indrayana (2008). Rote Ndao Mutiara Dari Selatan, Falsafah dan Pandangan Hidup Suku Rote tentang Lontar. Jakarta: Yayasan Kelopak (Kelompok Penggerak Aktivis Kebudayaan)
Sumber :
Fox, James J. (1996). Panen Lontar, Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Naladay, A.Z. (1983). Aneka Kebudayaan Suku Bangsa Rote. Kupang: Museum Daerah NTT
Otta, C.E. (November 1990). Rote Nusa Sasando. Kupang: Media
Soh, Andre Z & Maria N.D.K. Indrayana (2008). Rote Ndao Mutiara Dari Selatan, Falsafah dan Pandangan Hidup Suku Rote tentang Lontar. Jakarta: Yayasan Kelopak (Kelompok Penggerak Aktivis Kebudayaan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar