Dulu pemimpin pemerintahan di Rote
tidak bersifat warisan atas suku/keluarga tertentu. Siapa yang dianggap “pintar
dan mampu mengayomi rakyat” diangkat menjadi pemimpin (manek).
Paul
A. Haning, pegiat budaya Rote
TIDAK
ada satu pun perjalanan hidup seseorang yang dapat diketahui dan ditulis secara
lengkap dan persis seperti apa yang dijalani selama hayat dikandung badan. Sekalipun,
seorang penulis biografi telah berusaha secara sungguh-sungguh dan berupaya
keras untuk mencapai kesempurnaan, penulisan pernak-pernik dan lekuk-liku
perjalanan hidup seseorang kerap jauh dari kata sempurna. Bahkan, tidak sedikit
perjalanan penting yang tercecer dan teringat setelah buku beredar di
tengah-tengah masyarakat.
Saat
memulai menulis buku bertajuk Kala Lens
Haning jadi Bupati Rote Ndao ini, kami ingin menuliskan perjalanan seorang
Leonard Haning secara agak lengkap mulai dari garis keturunan (silsilah) sampai
pada anak tangga Bupati Rote Ndao. Tidak cukup hanya berangkat dari tanggal kelahiran
Lens –panggilan akrab Leonard Haning—pada 20 November 1954 di Kampung Lidamanu
Desa Medain. Tidak cukup berangkat pada saat paman Lens, Hermanus Haning,
menjadi Raja Thie (1953-1956). Ada garis keturunan seorang pemimpin mengalir dalam
diri Lens Haning. Berhulu jauh pada generasi Nusak Thie di tahun 1729-1733
tatkala Pandi Ndao menjabat Fetor Thie dan Foe Mbura alias Benyamin Messakh
menjadi Raja Thie di tahun1729-1746.
Ada
darah kepemimpinan mengalir dalam diri seorang Lens Haning. Namun, mesti diingat,
Lens Haning juga cukup keras ditempa oleh pengalaman memimpin di ranah
birokrasi yang lumayan panjang sebelum kakinya menapak di singgasana Bupati
Rote periode 2009-2014.
A. Jejak-jejak darah kepemimpinan
Masyarakat
Rote Ndao terdiri dari 19 subetnis dan setiap subetnis mendiami sebuah wilayah
kesatuan adat yang merupakan daerah genealogis teritorial yang disebut ‘nusak’.
Sebanyak 18 nusak berada di Pulau Rote dan sebuah nusak lainnya (Nusak Ndao) merupakan
sebuah nusak yang terdiri dari pulau-pulau atau merupakan suatu negara pulau.
Ke-19 nusak itu masing-masing: Landu, Ringgou, Oepao, Bilba, Diu, Korbafo,
Lelenuk, Bokai, Termanu, Talae, Keka, Lole, Baa, Lelain, Thie, Dengka, Delha,
Oenale dan Ndao.
Kita
fokus ke Nusak Thie sebagai akar silsilah kehidupan Lens Haning. Nusak Thie
kini merupakan sebuah wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Rote Barat Daya. Masyarakat
Nusak Thie mempunyai hubungan silsilah dengan masyarakat Rote yang lain. Masyarakat
suatu nusak terbagi lagi ke dalam beberapa klen, disebut leo.
Setiap
klen terbagi atas beberapa subklen, dinamakan manulangga, teidalek atau kitak.
Pemimpin nusak disebut manek, dibantu
oleh fetor (wakil manek) dan pemimpin
leo (yang disebut maneleo atau manesio), serta pemimpin manulangga/teidalek/kitak (yang disebut manenggik atau mae leoanak). Di Thie tidak ada manenggik
atau mane leoanak.
Menurut
beberapa narasumber manahelo (ahli
silsilah dan syair), Semuel Ndun dan Thomas Siokain, bahwa orang Rote berasal
dari Sura Sue do Dae/Dai Laka (Seram). Moyang yang berasal dari Seram bernama
Dae Dini, bersama isteri dan dua orang anaknya lelaki (Deta Dae dan Mbaki-mbaki
Dae). Dari Deta Dae, 12 generasi berselang, tiba pada Fai Ani. Lalu moyang ini (Fai
Ani) beranak Ne Fai dan Loakina Fai. Mereka masih bertualang di Pulau Timor.
Baru kemudian anak-anak Fai Ani dan Loakina Fai berpindah ke Rote secara
bergelombang.
Anak-anak
dari Ne Fai –Rote Nes (Lote Nes), Bara Nes, Keo Nes dan Lino Nes— pindah ke Rote
sekitar tahun 400-450 M. Rote Nes, Lino Nes dan Bara Nes menempati ujung timur
Rote. Sedangkan Keo Nes menempati bagian barat Rote (Ndao). Beberapa keturunan
dari moyang Rote Nes mengabadikan nama moyangnya tersebut. Dari nama itu timbul
nama Pulau Rote.
Keturunan
Loakina Fai pun berpindah ke Rote. Dari moyang ini, beberapa generasi kemudian tiba
di Sai Paliku. Lalu Sai Paliku beranak pinak Nggenggo-nggenggo Sain dan Hie-hie
Sain. Dari Nggenggo-nggenggo Sain, 20 generasi berselang tiba pada Lea Nggaba.
Lantas Lea Nggaba berketurunan, antara lain Liti Leang (penemu gong) dan Batu
Leang (penemu tambur). Sedangkan dari Hie-Hie Sain, 10 generasi kemudian tiba
pada Meda Tema. Dan Meda Tema menurunkan Mu Mai Meda dan Oka Meda.
Moyang
Mu Mai Meda beranak Paku Maka Mu. Dari Paku Maka Mu muncul keturunan berikutnya
Pala Paku. Selanjutnya Pala Paku memiliki tujuh orang anak lelaki, di antaranya
Lai Pala dan Niru Pala.
Delapan
generasi setelah Niru Pala sampai pada Mau Ndole. Mau Ndole menurunkan tujuh
orang anak, masing-masing Ti Mau (ke Rote/Thie), Belu Mau (ke Belu/Tetun), Savu
(Han) Mau (ke Sabu), Rote Mau (ke Rote/Bilba), Lihu (He) Mau (ke Semau), Suki
Mau (ke Ndao), dan Folo Mau (juga ke Ndao).
Sejarah
hidup Suki Mau dan Folo Mau tidak begitu dikenal oleh banyak manahelo. Sementara yang paling banyak
dikenal oleh para manahelo adalah Ti
Mau, Belu Mau, Savu Mau, Rote Mau dan Lihu Mau. Moyang-moyang ini terlahir dan
besar di Pulau Timor (Gunung Lakaan), kemudian baru berpisah (bertualang).
Moyang
Ti Mau pindah ke Rote sekitar permulaan abad ke-13 (kira-kira tahun 1225 M).
Setelah beberapa lama tinggal di Rote Timur/Landu Karafao, ia berpindah ke
bagian barat Rote, lalu tinggal di sebuah pulau kecil (kosong) di Rote bagian
barat daya. Sebelum tiba Ti Mau dan turunan Ti Mau, di wilayah Thie telah berdiam
keturunan Ndu Sah. Keturunan Ndu Sah lah yang menamakan pulau ini “Labu Lain”.
Kemudian, oleh Ti Mau, pulau ini diberi nama Pulau Landu dan lokasi hunian
mereka dinamakan Karafao –sesuai dengan nama tempat hunian pertama di Rote
Timur, yaitu Landu Karafao. Pada mulanya mereka tinggal di goa-goa, lantaran
belum sempat membangun “moa”
(pondok).
Dari
Pulau Landu, mereka (kecuali Busa Tola yang tetap tinggal di Pulau Landu)
berpindah lagi ke Rote daratan yang sebelumnya disebut Dae Henda. Mula-mula
mereka tinggal di sebuah tempat, disebut Rena, di muka Olikamboek. Kemudian
berpindah ke Taratu Lain atau Inngurak (Desa Lekik). Di Inggurak, raja yang
memimpin berturut-turut adalah Saku Nara, Lunggi Helo, Pandi Tule dan Nale
Mesah. Dari Inggurak berpindah lagi ke Kokolo. Tempat ini diberi nama menurut
nama moyang Kokolo Saba. Di Kokolo, rajanya adalah Mbura Mesah. Dari Kokolo,
Mbura Mesah bersama rakyatnya berpindah lagi ke Fiulain karena selalu mendapat
serangan dari Termanu. Selanjutnya dari Fiulain, masyarakat Thie berpindah ke
Danoheo atau Inggulai. Dari Danoheo berpindah lagi ke Oehundi atau Kotabeuk
(Benteng yang Baru). Dari sini penduduk Nusak Thie tersebar ke berbagai
tempat/desa di sekitar Nusak Thie.
Nama
Nusak Thie diambil dari nama moyang masyarakat Ti, yaitu Ti Mau, lantaran dia dianggap
sebagai penemu daerah ini. Setelah orang Thie mengenal huruf Latin, kata atau
nama Ti ditulis atau divariasi menjadi Thie. Nama ini (Thie) dipakai secara
resmi sampai kini.
Sebelum
menelisik silsilah kepemimpinan Lens Haning, ada baiknya kita pahami pola
pemerintahan tradisional di Nusak Thie. Dalam suatu komunitas, harus ada
seorang tokoh sebagai pemimpin. Pada mulanya pemimpin komunitas disebut mane la’i atau amak (primus inter pares).
Dia dibantu oleh seorang petugas keamanan yang disebut langga musu.
Peranan
dan fungsi amak atau mane la’i terus berkembang. Kalau semula
hanya sebagai pelindung atau pengayom, kemudian bertambah luas peran dan
fungsinya. Segala aspek kehidupan kelompok menjadi tanggung jawab amak. Pada tahap ini pemimpin kelompok
memperoleh gelar manek. Fungsi dan
wewenang manek cukup luas, yaitu
sebagai kepala kelompok, kepala wilayah, dan kepala pemerintahan. Dia mengayomi
rakyat dan bertanggung-jawab atas kesejahteraan rakyat.
Lantaran
fungsi manek yang bertambah luas maka
perlu penataan manajemen yang lebih baik dan pendelegasian wewenang yang jelas
dan teratur. Sebab itu, perlu dibentuk kelompok-kelompok kecil (berdasarkan
keturunan). Pada tiap suku/leo diangkat seorang kepala suku yang disebut maneleo.
Maneleo
memperoleh tugas dan wewenang menata dan memimpin anggota sukunya. Maneleo memerintah sebuah wilayah desa
tradisional yang mayoritas penduduknya adalah anggota sukunya. Setelah adanya
pemerintahan kolonial Belanda, selain urusan adat, maneleo merangkap pula menjalankan tugas-tugas negara/negeri. Pada
tahap ini maneleo disebut manesio (terjemahan harfiahnya ‘raja
sembilan’, maksudnya mempunyai multifungsi). Beberapa maneleo/manesio dikoordinir oleh seorang koordinator, disebut sio leik (temukung hofd). Istilah ‘temukung’ berasal dari seberang.
Di
bawah maneleo terdapat kepala kampung
(langgak atau mane nggorok) dan di bawah kepala kampung terdapat lasin (setingkat RT). Setiap maneleo mempunyai seorang penyalur
berita, disebut mafadak. Beberapa
kepala kampung (mane nggorok) dikoordinir
oleh seorang koordinator, disebut langga
ina.
Di
bawah manek terdapat fetor –sebagai wakil manek. Manek dan fetor merupakan
lembaga tertinggi negara. Figur kedua kelembagaan ini melambangkan ayah dan ibu
bagi rakyat. Manek adalah lambang
laki-laki (ayah) dan fetor (feto) adalah lambang perempuan (ibu).
Dalam tangan mereka terdapat kekuasaan dan kekerasan (boboto barakaik) sekaligus kasih dan kelembutan (susue-lalaik ma kokoe-nanasik). Hubungan
penguasa dan rakyat bagaikan orang tua (bapak) dan anak. Hubungan bapak-anak
membuat penguasa benar-benar mencintai rakyat. Sebaliknya, rakyat pun mencintai
dan patuh kepada penguasa.
Dalam
urusan pemerintahan Nusak Thie, Suku Boruanan mempunyai wewenang sebagai Dewan
Legislatif dengan tugas utama mengontrol jalannya pemerintahan. Bila
penguasa/raja tidak memenuhi ketentuan lagi dalam menjalankan tugasnya, maka Suku
Boruanan menyembelih seekor kuda jantan, diambilnya kaki depan sebelah kanan,
dikeluarkan kukunya, lalu kaki kuda itu dikirim kepada raja yang dipandang
tidak lagi memenuhi tugasnya secara baik.
Setelah
material itu diterima raja, maka dia menyadari bahwa dia tidak dipercayai dan
tidak didukung lagi sebagai raja. Dengan demikian dia segera mengundurkan diri.
Untuk itu Suku Boruanan segera mengusahakan penggantinya. Cara untuk mengatakan
aspirasi semacam ini adalah seperti mosi tidak percaya.
Setelah
Nusak Thie diakui dan diberi status kerajaan oleh pemerintahan kolonial Belanda
pada masa pemerintahan Raja Thie, Nale Mesah (Suku Mburala’e), maka dinasti
Mburala’e/Messakh merupakan pewaris tahta Kerajaan Thie. Sehingga, yang akan
diangkat menjadi raja harus berasal dari suku raja (Suku Mburala’e/Messakh).
Namun begitu, dalam sejarah perjalanan pemerintahan Nusak Thie, ada juga raja
yang diangkat dari suku lain. Hal ini juga terjadi di kerajaan-kerajaan lainnya
di Rote.
Pemerintah
yang teratur dalam Nusak Thie dimulai dari moyang Saku Nara. Pada mulanya Saku
Nara sebagai mane la’i kemudian
ditetapkan sebagai manek dan
memerintah mulai dari tahun 1540 sampai 1570.
Saku
Nara mengayomi rakyatnya dengan penuh ketekunan. Dia menyusun dan menata
pemerintahan secara baik --termasuk menetapkan Hukum Kekeluargaan (Hukum
Perkawinan). Pada masa pemerintahannya, masyarakat Thie dibagi atas dua bagian
(dua suku besar): Suku Sabarai dan Suku Taratu. Dari Suku Taratu tumbuh salah
satu klen (leo), yakni klen Todefeo. Bupati Rote Ndao (2009-2014) Lens Haning
adalah salah satu anggota dari klen Todefeo. Klen ini terdiri dari beberapa
subklen –salah satunya adalah subklen (fam) Haning.
Salah
satu cabang dari klen Todefeo sampai ke Leonard (Lens) Haning berturut-turut
sesuai urutan generasi sebagai berikut: 1. Tode Todefeo (Tode Boru) à 2. Dami Tode à 3. Ndao Dami à 4. Pandi Ndao (menjabat Fetor Thie
pada tahun 1729-1733). Pada generasi ini tercatat pula Foe Mbura alias Benyamin
Messakh yang menjadi Raja Thie periode 1729-1746.
à 5. Hani Pandi à 6. Henu Hani à 7. Boru Henu.
Boru
Henu memiliki empat orang anak lelaki sebagai generasi ke-8, dua di antaranya
Hani Boru yang berprofesi sebagai hakim adat dan Nia Boru. Dari Hani Boru turun
anak lelaki bernama Hermanus Haning (Raja Thie 1953-1956). Sedangkan dari Nia
Boru lahir keturunan Bastian Haning yang tidak lain adalah ayahanda Leonard
Haning (Bupati Rote Ndao 2009-2014). Tampak ada garis keturunan kepemimpinan
mengalir dalam diri seorang Lens Haning.
Sepintas
mari kita merunut Raja Thie Foe Mbura alias Benyamin Messakh. Foe Mbura adalah anak dari Mbura Messakh yang
dilahirkan di Kokolo, ibukota Kerajaan Thie. Dia menjadi raja menggantikan
ayahnya dan memerintah dari tahun 1729 sampai 1746, berkedudukan di Fiulain
(ibukota baru). Bersaudara dengan Pandi Mbura (laki-laki), Nuku Mbura
(laki-laki) dan Ndo’i Mbura (perempuan). Foe Mbura menikah dengan Ria Be, anak
dari Be Poli (Raja Bilba) dan mendapatkan satu-satunya anak (lelaki), yaitu
Henu Foe, namun meninggal pada usia masih muda.
Raja
Foe Mbura memiliki ide yang sangat gemilang dalam menata dan mensejahterakan
rakyatnya. Idenya adalah sangga ndolu sio
do tungga lela falu’ (mencari hikmat dan kedamaian serta kesejahteraan
hidup). Dia bermimpi dapat belajar ke Batavia yang oleh orang Rote disebut
Matabi (Haning, 2006:2).
Pada
tahun 1730 berangkatlah Foe Mbura bersama rombongannya yang berjumlah 27 orang
ke Batavia. Termasuk ke dalam rombongannya itu antara lain Raja Lole (Ndi’i
Hu’a), Raja Lelain (Ndara Naong), dan Raja Baa (Tou Dengga Lilo). Dari Thie
turut serta wakil dari hampir semua leo (klen) yang terdapat di Nusak Thie, di
antaranya Pandi Mbura (mewakili Suku Mburalae) namun setelah sampai di Sabu dia
tidak melanjutkan perjalanan dan memilih menetap di sana; Nuku Mbura yang
sementara waktu bertualang di Belu dan kemudian menyusul ke Sabu dan tinggal di
sana; Mbate Moi (Moiumbuk); Mafi Toulo/Lon, anak dari Tou Lo Nale yang bersama
Sangguana Nale dibunuh di Ndana (Suku Kona); Resi Boru (Suku Bibimane); Tule
Fatu (Suku Tolaumbuk); Mina Mbaru (Suku Musuhu); Henu Helo (Suku Langgalodo);
Semu Lolo (Suku Kanaketu), Landa Laifoi (Suku Kolek); dan Foi Soru (Suku Su’a).
Fetor
pada waktu itu Pandi Ndao (dari Suku Todefeo) tidak pergi dan ditunjuk sebagai
raja ad interim. Sebagai gantinya,
dia (Pandi Ndao) menunjuk Mbate Moi mewakilinya sekaligus mewakili rumpun
Suku/Leo Moianan/Taratu untuk mendampingi raja. Setelah kembali dari Batavia,
jabatan fetor dialihkan dari Leo Todefeo kepada Leo Moiumbuk secara turun-
termurun dan mulai dijabat oleh Mbate Moi.
Di
Batavia, sebagian anggota rombongan diberi kesempatan untuk mengikuti
pendidikan selama dua tahun. Sedangkan sisanya disuruh pulang lebih awal. Yang
pulang lebih awal, menurut legenda, ada yang mengendarai hewan laut, antara
lain Mina Mbaru mengendarai buaya, Semu Lolo dan Foi Soru mengendarai ikan hiu,
dan Landa Laofio mengendarai ikan lada. Setelah mengikuti pendidikan, lima orang
dibaptis, yaitu Foe Mbura (Benyamin), Mbate Moi (Yohanis), Nafi Toulo/Lon (Natanel),
Tule Fatu (Daniel), dan Resi Boru (Matias). Menurut sumber lain, Foe Mbura
dibaptis bersama dengan ayahnya sebelum pergi ke Batavia.
Sesudah
kembali (1732), Foe Mbura mulai menerapkan semua ilmu/teknologi dan agama
kepada rakyat Rote. Lantaran belum ada gedung khusus untuk kegiatan pendidikan
dan kegiatan agama, maka istana raja dipakai sebagai tempat sekolah dan gereja.
Rakyat Rote mengatakan bahwa beliau membawa “manggaledok ma manggadilak soa neu nusa Rote” (membawa cahaya
cemerlang bagi rakyat Rote).
Untuk
memperlancar pembangunan pendidikan dan agama, Foe Mbura meminta bantuan tenaga
guru dan pendeta. Pemerintah Kolonial Belanda pun mengirim tenaga guru dan
pendeta (Herman Sanders Zijlsma) ke Fiulain/Thie.
Keadaan
masyarakat Rote dan visi-misi Foe Mbura dalam memimpin rakyat Rote ketika itu terlukis
dalam syair berikut:
Inggu mana songgo nitu ma nusak mana
tanggu mula // De tetun ta nai Rote daen ma teman ta nai Kale oen // Falu inar
haradoi besekedu ma ana mar kurudo beletani // Nai nusa linok ma nai dae nes //
Te hu mauak neu ba’in ma manalek neu aman // Ba’i tingga nala tonda ufan ma ama
daka nala balu baun // Fo balun Sangga Ndolu // Ba’i leko la neu langgan ma ama
pale uli titidi // De sida epor reu nduku Jabadiu daen // Ma lena rir reu losa
Matabi oen // Ba’i tati neni Bau Koli ma ama lo’o neni Tui Sina // Ba’i fuan
neu balun lain ma ama ndaen neu tondan lain // Ba’i nenin nduku Rote daen ma
ama nenin losa Kale oen // De sele Bau neu dano ma tande Tui neu le // De Bau
don nasengga dano ma Tui okan nandoro le // Bali basa dae Rote ma ndule basa oe
Kale // De mboko danor ramahena ma mboe ler rakabani // Boe te mboko dano ta,
te ana-mar // Ma mboe le ta, te falu mar // Bau Koli ta, te Susura Malalaok //
Ma Tui Sina ta, te Malelak // De Bau Sodak ana dadi ma Tui Ladak ana mori // De
ana-mar reu tai ndulen ma falu inar reu eko feon // De hambu ndolu sion, ndolu
mana sefa dae // Ma hambu lela falun, lela mana toli oe // De manggaledok mori
nae dae Rote malelak dari nai ole Kale // Dadi neu nemehenak ma taon neo
nekebanik // Losa faik ia dalen ma nduku ledok ia tein //
Terjemahan
bebas syair tersebut kurang lebih sebagai berikut: dahulu kala para nenek
moyang penyembah berhala serta bodoh sehingga tidak ada kesempatan di bumi
(Rote). Hal itu menyebabkan manusia merintih dan cemas. Tetapi beruntung lah
para moyang menaiki biduk mereka lalu menuju Batavia. Lalu mereka memotong
pohon Bau dan menebang pohon Tui kemudian dimuat dalam biduk lalu kembali ke
Rote. Setelah sampai, pohon Bau ditanam di pinggir danau dan pohon Tui ditikam
di pinggir sungai. Lalu pohon Bau berdaun rimbun menaungi danau dan akar pohon
Tui menjorok sepanjang kali. Lantas menjadi harapan bagi udang dan mboko.
Tetapi bukan udang dan mboko melainkan yatim-piatu dan balu duda. Dan bukan
pohon Bau dan pohon Tui tetapi kesejahteraan dan pengetahuan. Semua ini menjadi
pegangan hidup sampai kini.
Selain
Raja Thie Foe Mbura, Raja Thie lain yang juga penting menjadi jejak garis
turunan kepemimpinan mengalir dalam diri Lens Haning adalah Hermanus Haning.
Hermanus Haning alias Loty Hani dilahirkan pada tahun 1881. Dia menikah dengan
Rebeka Hangge dan dikarunia anak-anak Paulina Haning, Maria Haning, Semuel
Haning, Gabriel Haning dan Zakarias Haning. Berasal dari Suku Todefeo, memimpin
Kerajaan Thie yang beribukota di Lidamanu dari tahun 1953 sampai 1956
menggantikan Yermias W. Messakh. Menamatkan pendidikannya di Sekolah Gubernemen
Danoheo pada tahun 1896. Dia dipilih oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk
melanjutkan sekolahnya ke Kweek School di Ambon namun orang-tuanya menolak,
akhirnya batal.
Semula
dia menerjunkan diri dalam bidang bisnis. Dia bersama N.D. Pah (guru dan
anggota DPR Daerah Timor) berkongsi lalu membuka sebuah toko dan bertempat di
rumah N.D. Pah. Usaha ini kemudian mengalami kemacetan.
Selanjutnya
Hermanus Haning menjadi juru tulis di Kerajaan Thie. Baik sebelum maupun
setelah menjadi Raja Thie, dia selalu aktif dalam pelayanan jemaat dalam
kedudukannya sebagai penatua atau penginjil. Pada tahun 1927 dia mendirikan sebuah
gereja di Dusun Longgo Oen dan diberi nama Gereja Lidamanu. Dan karena itu,
Dusun Longgo Oen pun berubah nama menjadi Desa Lidamanu.
Dalam
silsilah Klen Todefeo, Hermanus Haning adalah paman dari Lens Haning. Hermanus
Haning dan Bastian Haning (ayah Lens Haning) berasal dari satu kakek, yakni
Boru Henu. Boru Henu memiliki empat orang anak lelaki, dua di antaranya Hani
Boru yang merupakan ayah dari Hermanus Haning dan Nia Boru yang tidak lain
adalah ayah dar Bastian Haning.
Begitulah,
ada garis kepemimpinan yang mengalir dalam darah keturunan Lens Haning yang
kini menjadi Bupati Rote Ndao (2009-2014).
B. Kematangan di Ranah Birokrasi
Haruslah
dipahami bahwa sejak dulu kala pemimpin pemerintahan di Rote Ndao tidak
bersifat warisan atas suku/keluarga tertentu. Siapa saja yang dianggap pintar
dan mampu mengayomi rakyat dapat diangkat menjadi pemimpin (manek) yang dalam ungkapan adat disebut
‘mana tada tena do mana lolo bote’
atau ‘mane la’i’.
Menjadi
pemimpin daerah Rote (Bupati Rote Ndao), Lens Haning tidak semata-mata bermodal
garis keturunan kepemimpinan Foe Mbura dan Hermanus Haning. Ada kematangan
kepemimpinan di ranah birokrasi yang juga menjadi modal kuat untuk mengemban
amanat rakyat Rote Ndao.
Lahir
di Lidamanu pada tanggal 20 November 1954 dari pasangan Bastian Haning dan
Viktoria Haning-Manu, Lens Haning menghabiskan masa sekolah SD dan SMP di
kampung halamannya. Baru setelah menginjak SMA, dia merantau ke Kupang, ibukota
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Setamat
dari SMA Kristen Kupang tahun 1973, Lens
Haning berkesempatan bertemu dengan Piet Alexander Tallo yang di masa itu
menjabat Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi NTT. Tanpa banyak
perbincangan basa-basi, di sekitar tahun 1974 Lens diterima bekerja sebagai
staf pada Dispenda Provinsi NTT.
Tercapailan
mimpi Lens untuk lepas dari suratan takdir sebagai petani jagung Rote yang
subsisten. Di tahun 1974, garis tangannya berubah dengan memulai guratan hidup
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hari-hari Lens lantas dilewatkan untuk
urusan pengumpulan pajak dan retribusi daerah di Provinsi NTT.
Sebagai
PNS muda yang baru menapak karir, Lens banyak memperoleh dorongan moril dari
atasannya yang kharismatik Piet Alexander Tallo –yang di rentang waktu 1998-2003
dan 2003-2008 dipercaya sebagai Gubernur NTT. Dalam bekerja, Piet senantiasa
menanamkan sikap tanggung jawab, disiplin dan kerja keras kepada bawahannya,
termasuk kepada Lens Haning. Bahkan, Piet Tallo memberikan dukungan penuh agar
Lens menambah bekal keilmuan dan pengetahuan dengan melanjutkan kuliah.
Lens
terpacu untuk maju. “Dalam diri, saya punya sikap yang sangat kuat bahwa sampai
kapan saja saya harus menjadi diri saya sendiri, dan saya tidak mau jadi
seperti siapa pun. Sehingga, saya sangat sulit dipengaruhi oleh siapa saja
karena saya sudah punya konsep hidup. Ini yang paling kuat tertanam dalam diri
saya,” ujar Lens Haning.
Konsep
hidup Lens Haning adalah bahwa dalam bekerja dia selalu meniru filosofi
sifat-sifat ikan mas dan anak ayam. Maknanya jelas. Menurut Lens, “Ikan mas
adalah jenis ikan air tawar yang hidup besar dan gemuk di air jernih. Tatkala
digiring ke air keruh, ikan mas akan berusaha kembali ke air yang bersih
(jernih). Sedangkan anak ayam, bermakna bahwa dia makan dari apa yang dia cari
sendiri untuk mengisi temboloknya. Mencari apa-apa sendiri lalu dimakan, tetapi
bukan mengambil milik orang lain. Jadi, sudah tertanam sikap kemandirian sejak
kecil.”
Sikap
dan konsep hidup Lens Haning sudah benar. Sebab, ketika orang tersebut tumbuh
sejak kecil, remaja, hingga menjadi dewasa, dia harus memiliki jatidiri dan
konsep hidup sendiri. Alhasil, tatkala dia ditempa oleh lingkungan masa lalu
yang serba kekurangan dan kini pada akhirnya diberi amanah sebagai pemimpin
daerah (Kepala Daerah), dia tampil sebagai pemimpin yang sederhana, jujur,
berkarakter dan juga berpendirian teguh.
Labirin
waktu terus berputar.
Sekian lama berkarir sebagai PNS pada Dispenda Provinsi
NTT, atasannya (Piet Tallo) tiada henti memotivasi Lens untuk belajar dan
(harus) meneruskan pendidikannya. Lens yang ketika itu masih berijazah SMA
tidak menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada di depan mata. Dia lalu
mengajukan izin tugas belajar kepada atasannya itu. Tanpa banyak kesulitan, dia
kemudian mengantongi izin tugas belajar untuk meneruskan kuliah ke Kampus
STIKEN Surabaya, Jawa Timur. Selama sekitar tiga tahun bergelut dengan
buku-buku teks kuliah, akhirnya pada tahun 1984 Lens Haning berhak menyandang
gelar sarjana muda keuangan.
Lens
lantas pulang ke Kupang, ibukota Provinsi NTT. Berkat peningkatan kualitas
keilmuan itu, secara perlahan dan pasti karirnya mulai bersinar. Sejak 1985
misalkan, dia kemudian dipromosikan sebagai Kepala Seksi (Kasi) Tata Usaha
Cabang Dispenda Wilayah Kupang. Jabatan ini dipegangnya hingga 1987.
Berikutnya, dia ditempatkan lagi sebagai Kasi Penerimaan Dinas-Dinas Tingkat I
Provinsi NTT, mulai 1987 sampai 1993.
Selama
mengemban amanah jabatan sebagai Kasi Penerimaan Dinas-Dinas Tingkat I Provinsi
NTT inilah, Lens berpikir untuk menuntaskan kuliahnya yang saat itu baru sampai
sarjana muda. Karena itu, di sela-sela tugasnya mengabdi sebagai PNS, dia
kembali berinisiatif mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa pada Program
Sarjana (S-1) Jurusan Tata Niasa Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Setelah
melalui serangkaian tes, tanpa banyak kesulitan, dia diterima di Undana.
Sejak
itulah, hari-harinya diisi antara aktivitas belajar dan mengabdi sebagai PNS. Karena
dia belajar dan mengabdi nothing to loose
serta tanpa beban, tanpa terasa kuliah yang dilakoninya pun rampung. Berselang
lebih dari setahun, tepatnya pada tahun 1990, Lens dapat bernafas lega. Mulai
saat itu, dia boleh berbangga hati lantaran lulus dengan nilai memuaskan. Dan
yang lebih membahagiakan lagi, dia berhak pula menyandang gelar sarjana strata
satu (S-1/Drs) di depan namanya.
Melihat
kondite dan kinerja Lens Haning yang bagus serta studi sarjananya yang telah
tuntas, atasannya demikian terkesan. Maka, mulai tahun 1993, dia dipromosikan
sebagai Kepala Cabang (Kacab) Dispenda Provinsi NTT Wilayah Belu. Jabatan ini
dipegangnya sampai tahun 2000. Berikutnya, tahun 2000-2001, dia dipercaya
sebagai Kacab Dispenda Provinsi NTT Wilayah Kupang. Selanjutnya, tahun 2001
sampai 2006, dia dipromosikan lagi sebagai Kepala UPTD Dispenda Provinsi NTT Wilayah
I. Pada masa inilah (2001), Lens memutuskan untuk back to campus dan mengambil kuliah pada Program Studi Magister
Manajemen (S-2) Unwira, Kupang. Tak seberapa lama, tahun 2003, dia diwisuda dan
berhak mengandang gelar Magister Manajemen (S-2).
Kemudian,
tahun 2006, dia kembali dipromosikan sebagai Kepala Dinas Pariwisata Provinsi
NTT. Jabatan ini hanya dipegangnya
selama dua tahun, tepatnya sampai tahun 2008.
Berkat berbagai anak tangga yang dilalui di ranah
birokrasi (Dispenda dan Dinas Pariwisata Provinsi NTT), Lens Haning menjadi
begitu matang dalam memimpin –terutama memimpin anak buah yang ada di bawah
lembaga yang dipimpinnya. Sebuah perjuangan yang semakin mematangkan sikap
bijak seorang Lens yang dapat dijadikan modal dalam mengarungi kehidupan
selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar