Kamis, 04 Desember 2014

Jejak Kepemimpinan Leonard Haning

Dulu pemimpin pemerintahan di Rote tidak bersifat warisan atas suku/keluarga tertentu. Siapa yang dianggap “pintar dan mampu mengayomi rakyat” diangkat menjadi pemimpin (manek).
Paul A. Haning, pegiat budaya Rote

TIDAK ada satu pun perjalanan hidup seseorang yang dapat diketahui dan ditulis secara lengkap dan persis seperti apa yang dijalani selama hayat dikandung badan. Sekalipun, seorang penulis biografi telah berusaha secara sungguh-sungguh dan berupaya keras untuk mencapai kesempurnaan, penulisan pernak-pernik dan lekuk-liku perjalanan hidup seseorang kerap jauh dari kata sempurna. Bahkan, tidak sedikit perjalanan penting yang tercecer dan teringat setelah buku beredar di tengah-tengah masyarakat.
 
Saat memulai menulis buku bertajuk Kala Lens Haning jadi Bupati Rote Ndao ini, kami ingin menuliskan perjalanan seorang Leonard Haning secara agak lengkap mulai dari garis keturunan (silsilah) sampai pada anak tangga Bupati Rote Ndao. Tidak cukup hanya berangkat dari tanggal kelahiran Lens –panggilan akrab Leonard Haning—pada 20 November 1954 di Kampung Lidamanu Desa Medain. Tidak cukup berangkat pada saat paman Lens, Hermanus Haning, menjadi Raja Thie (1953-1956). Ada garis keturunan seorang pemimpin mengalir dalam diri Lens Haning. Berhulu jauh pada generasi Nusak Thie di tahun 1729-1733 tatkala Pandi Ndao menjabat Fetor Thie dan Foe Mbura alias Benyamin Messakh menjadi Raja Thie di tahun1729-1746. 
 
Ada darah kepemimpinan mengalir dalam diri seorang Lens Haning. Namun, mesti diingat, Lens Haning juga cukup keras ditempa oleh pengalaman memimpin di ranah birokrasi yang lumayan panjang sebelum kakinya menapak di singgasana Bupati Rote periode 2009-2014.

A.   Jejak-jejak darah kepemimpinan
Masyarakat Rote Ndao terdiri dari 19 subetnis dan setiap subetnis mendiami sebuah wilayah kesatuan adat yang merupakan daerah genealogis teritorial yang disebut ‘nusak’. Sebanyak 18 nusak berada di Pulau Rote dan sebuah nusak lainnya (Nusak Ndao) merupakan sebuah nusak yang terdiri dari pulau-pulau atau merupakan suatu negara pulau. Ke-19 nusak itu masing-masing: Landu, Ringgou, Oepao, Bilba, Diu, Korbafo, Lelenuk, Bokai, Termanu, Talae, Keka, Lole, Baa, Lelain, Thie, Dengka, Delha, Oenale dan Ndao.
 
Kita fokus ke Nusak Thie sebagai akar silsilah kehidupan Lens Haning. Nusak Thie kini merupakan sebuah wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Rote Barat Daya. Masyarakat Nusak Thie mempunyai hubungan silsilah dengan masyarakat Rote yang lain. Masyarakat suatu nusak terbagi lagi ke dalam beberapa klen, disebut leo.
 
Setiap klen terbagi atas beberapa subklen, dinamakan manulangga, teidalek atau kitak. Pemimpin nusak disebut manek, dibantu oleh fetor (wakil manek) dan pemimpin leo (yang disebut maneleo atau manesio), serta pemimpin manulangga/teidalek/kitak (yang disebut manenggik atau mae leoanak). Di Thie tidak ada manenggik atau mane leoanak.
Menurut beberapa narasumber manahelo (ahli silsilah dan syair), Semuel Ndun dan Thomas Siokain, bahwa orang Rote berasal dari Sura Sue do Dae/Dai Laka (Seram). Moyang yang berasal dari Seram bernama Dae Dini, bersama isteri dan dua orang anaknya lelaki (Deta Dae dan Mbaki-mbaki Dae). Dari Deta Dae, 12 generasi berselang, tiba pada Fai Ani. Lalu moyang ini (Fai Ani) beranak Ne Fai dan Loakina Fai. Mereka masih bertualang di Pulau Timor. Baru kemudian anak-anak Fai Ani dan Loakina Fai berpindah ke Rote secara bergelombang. 
 
Anak-anak dari Ne Fai –Rote Nes (Lote Nes), Bara Nes, Keo Nes dan Lino Nes— pindah ke Rote sekitar tahun 400-450 M. Rote Nes, Lino Nes dan Bara Nes menempati ujung timur Rote. Sedangkan Keo Nes menempati bagian barat Rote (Ndao). Beberapa keturunan dari moyang Rote Nes mengabadikan nama moyangnya tersebut. Dari nama itu timbul nama Pulau Rote. 
 
Keturunan Loakina Fai pun berpindah ke Rote. Dari moyang ini, beberapa generasi kemudian tiba di Sai Paliku. Lalu Sai Paliku beranak pinak Nggenggo-nggenggo Sain dan Hie-hie Sain. Dari Nggenggo-nggenggo Sain, 20 generasi berselang tiba pada Lea Nggaba. Lantas Lea Nggaba berketurunan, antara lain Liti Leang (penemu gong) dan Batu Leang (penemu tambur). Sedangkan dari Hie-Hie Sain, 10 generasi kemudian tiba pada Meda Tema. Dan Meda Tema menurunkan Mu Mai Meda dan Oka Meda.
Moyang Mu Mai Meda beranak Paku Maka Mu. Dari Paku Maka Mu muncul keturunan berikutnya Pala Paku. Selanjutnya Pala Paku memiliki tujuh orang anak lelaki, di antaranya Lai Pala dan Niru Pala.
 
Delapan generasi setelah Niru Pala sampai pada Mau Ndole. Mau Ndole menurunkan tujuh orang anak, masing-masing Ti Mau (ke Rote/Thie), Belu Mau (ke Belu/Tetun), Savu (Han) Mau (ke Sabu), Rote Mau (ke Rote/Bilba), Lihu (He) Mau (ke Semau), Suki Mau (ke Ndao), dan Folo Mau (juga ke Ndao).
 
Sejarah hidup Suki Mau dan Folo Mau tidak begitu dikenal oleh banyak manahelo. Sementara yang paling banyak dikenal oleh para manahelo adalah Ti Mau, Belu Mau, Savu Mau, Rote Mau dan Lihu Mau. Moyang-moyang ini terlahir dan besar di Pulau Timor (Gunung Lakaan), kemudian baru berpisah (bertualang).
 
Moyang Ti Mau pindah ke Rote sekitar permulaan abad ke-13 (kira-kira tahun 1225 M). Setelah beberapa lama tinggal di Rote Timur/Landu Karafao, ia berpindah ke bagian barat Rote, lalu tinggal di sebuah pulau kecil (kosong) di Rote bagian barat daya. Sebelum tiba Ti Mau dan turunan Ti Mau, di wilayah Thie telah berdiam keturunan Ndu Sah. Keturunan Ndu Sah lah yang menamakan pulau ini “Labu Lain”. Kemudian, oleh Ti Mau, pulau ini diberi nama Pulau Landu dan lokasi hunian mereka dinamakan Karafao –sesuai dengan nama tempat hunian pertama di Rote Timur, yaitu Landu Karafao. Pada mulanya mereka tinggal di goa-goa, lantaran belum sempat membangun “moa” (pondok).
 
Dari Pulau Landu, mereka (kecuali Busa Tola yang tetap tinggal di Pulau Landu) berpindah lagi ke Rote daratan yang sebelumnya disebut Dae Henda. Mula-mula mereka tinggal di sebuah tempat, disebut Rena, di muka Olikamboek. Kemudian berpindah ke Taratu Lain atau Inngurak (Desa Lekik). Di Inggurak, raja yang memimpin berturut-turut adalah Saku Nara, Lunggi Helo, Pandi Tule dan Nale Mesah. Dari Inggurak berpindah lagi ke Kokolo. Tempat ini diberi nama menurut nama moyang Kokolo Saba. Di Kokolo, rajanya adalah Mbura Mesah. Dari Kokolo, Mbura Mesah bersama rakyatnya berpindah lagi ke Fiulain karena selalu mendapat serangan dari Termanu. Selanjutnya dari Fiulain, masyarakat Thie berpindah ke Danoheo atau Inggulai. Dari Danoheo berpindah lagi ke Oehundi atau Kotabeuk (Benteng yang Baru). Dari sini penduduk Nusak Thie tersebar ke berbagai tempat/desa di sekitar Nusak Thie.
 
Nama Nusak Thie diambil dari nama moyang masyarakat Ti, yaitu Ti Mau, lantaran dia dianggap sebagai penemu daerah ini. Setelah orang Thie mengenal huruf Latin, kata atau nama Ti ditulis atau divariasi menjadi Thie. Nama ini (Thie) dipakai secara resmi sampai kini. 
 
Sebelum menelisik silsilah kepemimpinan Lens Haning, ada baiknya kita pahami pola pemerintahan tradisional di Nusak Thie. Dalam suatu komunitas, harus ada seorang tokoh sebagai pemimpin. Pada mulanya pemimpin komunitas disebut mane la’i atau amak (primus inter pares). Dia dibantu oleh seorang petugas keamanan yang disebut langga musu
 
Peranan dan fungsi amak atau mane la’i terus berkembang. Kalau semula hanya sebagai pelindung atau pengayom, kemudian bertambah luas peran dan fungsinya. Segala aspek kehidupan kelompok menjadi tanggung jawab amak. Pada tahap ini pemimpin kelompok memperoleh gelar manek. Fungsi dan wewenang manek cukup luas, yaitu sebagai kepala kelompok, kepala wilayah, dan kepala pemerintahan. Dia mengayomi rakyat dan bertanggung-jawab atas kesejahteraan rakyat.
 
Lantaran fungsi manek yang bertambah luas maka perlu penataan manajemen yang lebih baik dan pendelegasian wewenang yang jelas dan teratur. Sebab itu, perlu dibentuk kelompok-kelompok kecil (berdasarkan keturunan). Pada tiap suku/leo diangkat seorang kepala suku yang disebut maneleo.
 
Maneleo memperoleh tugas dan wewenang menata dan memimpin anggota sukunya. Maneleo memerintah sebuah wilayah desa tradisional yang mayoritas penduduknya adalah anggota sukunya. Setelah adanya pemerintahan kolonial Belanda, selain urusan adat, maneleo merangkap pula menjalankan tugas-tugas negara/negeri. Pada tahap ini maneleo disebut manesio (terjemahan harfiahnya ‘raja sembilan’, maksudnya mempunyai multifungsi). Beberapa maneleo/manesio dikoordinir oleh seorang koordinator, disebut sio leik (temukung hofd). Istilah ‘temukung’ berasal dari seberang.
 
Di bawah maneleo terdapat kepala kampung (langgak atau mane nggorok) dan di bawah kepala kampung terdapat lasin (setingkat RT). Setiap maneleo mempunyai seorang penyalur berita, disebut mafadak. Beberapa kepala kampung (mane nggorok) dikoordinir oleh seorang koordinator, disebut langga ina
 
Di bawah manek terdapat fetor –sebagai wakil manek. Manek dan fetor merupakan lembaga tertinggi negara. Figur kedua kelembagaan ini melambangkan ayah dan ibu bagi rakyat. Manek adalah lambang laki-laki (ayah) dan fetor (feto) adalah lambang perempuan (ibu). Dalam tangan mereka terdapat kekuasaan dan kekerasan (boboto barakaik) sekaligus kasih dan kelembutan (susue-lalaik ma kokoe-nanasik). Hubungan penguasa dan rakyat bagaikan orang tua (bapak) dan anak. Hubungan bapak-anak membuat penguasa benar-benar mencintai rakyat. Sebaliknya, rakyat pun mencintai dan patuh kepada penguasa.
 
Dalam urusan pemerintahan Nusak Thie, Suku Boruanan mempunyai wewenang sebagai Dewan Legislatif dengan tugas utama mengontrol jalannya pemerintahan. Bila penguasa/raja tidak memenuhi ketentuan lagi dalam menjalankan tugasnya, maka Suku Boruanan menyembelih seekor kuda jantan, diambilnya kaki depan sebelah kanan, dikeluarkan kukunya, lalu kaki kuda itu dikirim kepada raja yang dipandang tidak lagi memenuhi tugasnya secara baik. 
 
Setelah material itu diterima raja, maka dia menyadari bahwa dia tidak dipercayai dan tidak didukung lagi sebagai raja. Dengan demikian dia segera mengundurkan diri. Untuk itu Suku Boruanan segera mengusahakan penggantinya. Cara untuk mengatakan aspirasi semacam ini adalah seperti mosi tidak percaya. 
 
Setelah Nusak Thie diakui dan diberi status kerajaan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada masa pemerintahan Raja Thie, Nale Mesah (Suku Mburala’e), maka dinasti Mburala’e/Messakh merupakan pewaris tahta Kerajaan Thie. Sehingga, yang akan diangkat menjadi raja harus berasal dari suku raja (Suku Mburala’e/Messakh). Namun begitu, dalam sejarah perjalanan pemerintahan Nusak Thie, ada juga raja yang diangkat dari suku lain. Hal ini juga terjadi di kerajaan-kerajaan lainnya di Rote.
 
Pemerintah yang teratur dalam Nusak Thie dimulai dari moyang Saku Nara. Pada mulanya Saku Nara sebagai mane la’i kemudian ditetapkan sebagai manek dan memerintah mulai dari tahun 1540 sampai 1570. 
 
Saku Nara mengayomi rakyatnya dengan penuh ketekunan. Dia menyusun dan menata pemerintahan secara baik --termasuk menetapkan Hukum Kekeluargaan (Hukum Perkawinan). Pada masa pemerintahannya, masyarakat Thie dibagi atas dua bagian (dua suku besar): Suku Sabarai dan Suku Taratu. Dari Suku Taratu tumbuh salah satu klen (leo), yakni klen Todefeo. Bupati Rote Ndao (2009-2014) Lens Haning adalah salah satu anggota dari klen Todefeo. Klen ini terdiri dari beberapa subklen –salah satunya adalah subklen (fam) Haning.
 
Salah satu cabang dari klen Todefeo sampai ke Leonard (Lens) Haning berturut-turut sesuai urutan generasi sebagai berikut: 1. Tode Todefeo (Tode Boru) à 2. Dami Tode à 3. Ndao Dami à 4. Pandi Ndao (menjabat Fetor Thie pada tahun 1729-1733). Pada generasi ini tercatat pula Foe Mbura alias Benyamin Messakh yang menjadi Raja Thie  periode 1729-1746. à 5. Hani Pandi à 6. Henu Hani à 7. Boru Henu. 
 
Boru Henu memiliki empat orang anak lelaki sebagai generasi ke-8, dua di antaranya Hani Boru yang berprofesi sebagai hakim adat dan Nia Boru. Dari Hani Boru turun anak lelaki bernama Hermanus Haning (Raja Thie 1953-1956). Sedangkan dari Nia Boru lahir keturunan Bastian Haning yang tidak lain adalah ayahanda Leonard Haning (Bupati Rote Ndao 2009-2014). Tampak ada garis keturunan kepemimpinan mengalir dalam diri seorang Lens Haning.
 
Sepintas mari kita merunut Raja Thie Foe Mbura alias Benyamin Messakh.  Foe Mbura adalah anak dari Mbura Messakh yang dilahirkan di Kokolo, ibukota Kerajaan Thie. Dia menjadi raja menggantikan ayahnya dan memerintah dari tahun 1729 sampai 1746, berkedudukan di Fiulain (ibukota baru). Bersaudara dengan Pandi Mbura (laki-laki), Nuku Mbura (laki-laki) dan Ndo’i Mbura (perempuan). Foe Mbura menikah dengan Ria Be, anak dari Be Poli (Raja Bilba) dan mendapatkan satu-satunya anak (lelaki), yaitu Henu Foe, namun meninggal pada usia masih muda. 
 
Raja Foe Mbura memiliki ide yang sangat gemilang dalam menata dan mensejahterakan rakyatnya. Idenya adalah sangga ndolu sio do tungga lela falu’ (mencari hikmat dan kedamaian serta kesejahteraan hidup). Dia bermimpi dapat belajar ke Batavia yang oleh orang Rote disebut Matabi (Haning, 2006:2).
 
Pada tahun 1730 berangkatlah Foe Mbura bersama rombongannya yang berjumlah 27 orang ke Batavia. Termasuk ke dalam rombongannya itu antara lain Raja Lole (Ndi’i Hu’a), Raja Lelain (Ndara Naong), dan Raja Baa (Tou Dengga Lilo). Dari Thie turut serta wakil dari hampir semua leo (klen) yang terdapat di Nusak Thie, di antaranya Pandi Mbura (mewakili Suku Mburalae) namun setelah sampai di Sabu dia tidak melanjutkan perjalanan dan memilih menetap di sana; Nuku Mbura yang sementara waktu bertualang di Belu dan kemudian menyusul ke Sabu dan tinggal di sana; Mbate Moi (Moiumbuk); Mafi Toulo/Lon, anak dari Tou Lo Nale yang bersama Sangguana Nale dibunuh di Ndana (Suku Kona); Resi Boru (Suku Bibimane); Tule Fatu (Suku Tolaumbuk); Mina Mbaru (Suku Musuhu); Henu Helo (Suku Langgalodo); Semu Lolo (Suku Kanaketu), Landa Laifoi (Suku Kolek); dan Foi Soru (Suku Su’a).
 
Fetor pada waktu itu Pandi Ndao (dari Suku Todefeo) tidak pergi dan ditunjuk sebagai raja ad interim. Sebagai gantinya, dia (Pandi Ndao) menunjuk Mbate Moi mewakilinya sekaligus mewakili rumpun Suku/Leo Moianan/Taratu untuk mendampingi raja. Setelah kembali dari Batavia, jabatan fetor dialihkan dari Leo Todefeo kepada Leo Moiumbuk secara turun- termurun dan mulai dijabat oleh Mbate Moi.
 
Di Batavia, sebagian anggota rombongan diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan selama dua tahun. Sedangkan sisanya disuruh pulang lebih awal. Yang pulang lebih awal, menurut legenda, ada yang mengendarai hewan laut, antara lain Mina Mbaru mengendarai buaya, Semu Lolo dan Foi Soru mengendarai ikan hiu, dan Landa Laofio mengendarai ikan lada. Setelah mengikuti pendidikan, lima orang dibaptis, yaitu Foe Mbura (Benyamin), Mbate Moi (Yohanis), Nafi Toulo/Lon (Natanel), Tule Fatu (Daniel), dan Resi Boru (Matias). Menurut sumber lain, Foe Mbura dibaptis bersama dengan ayahnya sebelum pergi ke Batavia.
 
Sesudah kembali (1732), Foe Mbura mulai menerapkan semua ilmu/teknologi dan agama kepada rakyat Rote. Lantaran belum ada gedung khusus untuk kegiatan pendidikan dan kegiatan agama, maka istana raja dipakai sebagai tempat sekolah dan gereja. Rakyat Rote mengatakan bahwa beliau membawa “manggaledok ma manggadilak soa neu nusa Rote” (membawa cahaya cemerlang bagi rakyat Rote).
 
Untuk memperlancar pembangunan pendidikan dan agama, Foe Mbura meminta bantuan tenaga guru dan pendeta. Pemerintah Kolonial Belanda pun mengirim tenaga guru dan pendeta (Herman Sanders Zijlsma) ke Fiulain/Thie. 
 
Keadaan masyarakat Rote dan visi-misi Foe Mbura dalam memimpin rakyat Rote ketika itu terlukis dalam syair berikut:
Inggu mana songgo nitu ma nusak mana tanggu mula // De tetun ta nai Rote daen ma teman ta nai Kale oen // Falu inar haradoi besekedu ma ana mar kurudo beletani // Nai nusa linok ma nai dae nes // Te hu mauak neu ba’in ma manalek neu aman // Ba’i tingga nala tonda ufan ma ama daka nala balu baun // Fo balun Sangga Ndolu // Ba’i leko la neu langgan ma ama pale uli titidi // De sida epor reu nduku Jabadiu daen // Ma lena rir reu losa Matabi oen // Ba’i tati neni Bau Koli ma ama lo’o neni Tui Sina // Ba’i fuan neu balun lain ma ama ndaen neu tondan lain // Ba’i nenin nduku Rote daen ma ama nenin losa Kale oen // De sele Bau neu dano ma tande Tui neu le // De Bau don nasengga dano ma Tui okan nandoro le // Bali basa dae Rote ma ndule basa oe Kale // De mboko danor ramahena ma mboe ler rakabani // Boe te mboko dano ta, te ana-mar // Ma mboe le ta, te falu mar // Bau Koli ta, te Susura Malalaok // Ma Tui Sina ta, te Malelak // De Bau Sodak ana dadi ma Tui Ladak ana mori // De ana-mar reu tai ndulen ma falu inar reu eko feon // De hambu ndolu sion, ndolu mana sefa dae // Ma hambu lela falun, lela mana toli oe // De manggaledok mori nae dae Rote malelak dari nai ole Kale // Dadi neu nemehenak ma taon neo nekebanik // Losa faik ia dalen ma nduku ledok ia tein //
 
Terjemahan bebas syair tersebut kurang lebih sebagai berikut: dahulu kala para nenek moyang penyembah berhala serta bodoh sehingga tidak ada kesempatan di bumi (Rote). Hal itu menyebabkan manusia merintih dan cemas. Tetapi beruntung lah para moyang menaiki biduk mereka lalu menuju Batavia. Lalu mereka memotong pohon Bau dan menebang pohon Tui kemudian dimuat dalam biduk lalu kembali ke Rote. Setelah sampai, pohon Bau ditanam di pinggir danau dan pohon Tui ditikam di pinggir sungai. Lalu pohon Bau berdaun rimbun menaungi danau dan akar pohon Tui menjorok sepanjang kali. Lantas menjadi harapan bagi udang dan mboko. Tetapi bukan udang dan mboko melainkan yatim-piatu dan balu duda. Dan bukan pohon Bau dan pohon Tui tetapi kesejahteraan dan pengetahuan. Semua ini menjadi pegangan hidup sampai kini.
 
Selain Raja Thie Foe Mbura, Raja Thie lain yang juga penting menjadi jejak garis turunan kepemimpinan mengalir dalam diri Lens Haning adalah Hermanus Haning. Hermanus Haning alias Loty Hani dilahirkan pada tahun 1881. Dia menikah dengan Rebeka Hangge dan dikarunia anak-anak Paulina Haning, Maria Haning, Semuel Haning, Gabriel Haning dan Zakarias Haning. Berasal dari Suku Todefeo, memimpin Kerajaan Thie yang beribukota di Lidamanu dari tahun 1953 sampai 1956 menggantikan Yermias W. Messakh. Menamatkan pendidikannya di Sekolah Gubernemen Danoheo pada tahun 1896. Dia dipilih oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk melanjutkan sekolahnya ke Kweek School di Ambon namun orang-tuanya menolak, akhirnya batal.
 
Semula dia menerjunkan diri dalam bidang bisnis. Dia bersama N.D. Pah (guru dan anggota DPR Daerah Timor) berkongsi lalu membuka sebuah toko dan bertempat di rumah N.D. Pah. Usaha ini kemudian mengalami kemacetan.
 
Selanjutnya Hermanus Haning menjadi juru tulis di Kerajaan Thie. Baik sebelum maupun setelah menjadi Raja Thie, dia selalu aktif dalam pelayanan jemaat dalam kedudukannya sebagai penatua atau penginjil. Pada tahun 1927 dia mendirikan sebuah gereja di Dusun Longgo Oen dan diberi nama Gereja Lidamanu. Dan karena itu, Dusun Longgo Oen pun berubah nama menjadi Desa Lidamanu.     
 
Dalam silsilah Klen Todefeo, Hermanus Haning adalah paman dari Lens Haning. Hermanus Haning dan Bastian Haning (ayah Lens Haning) berasal dari satu kakek, yakni Boru Henu. Boru Henu memiliki empat orang anak lelaki, dua di antaranya Hani Boru yang merupakan ayah dari Hermanus Haning dan Nia Boru yang tidak lain adalah ayah dar Bastian Haning.
Begitulah, ada garis kepemimpinan yang mengalir dalam darah keturunan Lens Haning yang kini menjadi Bupati Rote Ndao (2009-2014).

B.    Kematangan di Ranah Birokrasi
Haruslah dipahami bahwa sejak dulu kala pemimpin pemerintahan di Rote Ndao tidak bersifat warisan atas suku/keluarga tertentu. Siapa saja yang dianggap pintar dan mampu mengayomi rakyat dapat diangkat menjadi pemimpin (manek) yang dalam ungkapan adat disebut ‘mana tada tena do mana lolo bote’ atau ‘mane la’i’. 
 
Menjadi pemimpin daerah Rote (Bupati Rote Ndao), Lens Haning tidak semata-mata bermodal garis keturunan kepemimpinan Foe Mbura dan Hermanus Haning. Ada kematangan kepemimpinan di ranah birokrasi yang juga menjadi modal kuat untuk mengemban amanat rakyat Rote Ndao.
 
Lahir di Lidamanu pada tanggal 20 November 1954 dari pasangan Bastian Haning dan Viktoria Haning-Manu, Lens Haning menghabiskan masa sekolah SD dan SMP di kampung halamannya. Baru setelah menginjak SMA, dia merantau ke Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).   
 
Setamat dari SMA Kristen Kupang  tahun 1973, Lens Haning berkesempatan bertemu dengan Piet Alexander Tallo yang di masa itu menjabat Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi NTT. Tanpa banyak perbincangan basa-basi, di sekitar tahun 1974 Lens diterima bekerja sebagai staf pada Dispenda Provinsi NTT. 
 
Tercapailan mimpi Lens untuk lepas dari suratan takdir sebagai petani jagung Rote yang subsisten. Di tahun 1974, garis tangannya berubah dengan memulai guratan hidup sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hari-hari Lens lantas dilewatkan untuk urusan pengumpulan pajak dan retribusi daerah di Provinsi NTT. 
 
Sebagai PNS muda yang baru menapak karir, Lens banyak memperoleh dorongan moril dari atasannya yang kharismatik Piet Alexander Tallo –yang di rentang waktu 1998-2003 dan 2003-2008 dipercaya sebagai Gubernur NTT. Dalam bekerja, Piet senantiasa menanamkan sikap tanggung jawab, disiplin dan kerja keras kepada bawahannya, termasuk kepada Lens Haning. Bahkan, Piet Tallo memberikan dukungan penuh agar Lens menambah bekal keilmuan dan pengetahuan dengan melanjutkan kuliah. 
 
Lens terpacu untuk maju. “Dalam diri, saya punya sikap yang sangat kuat bahwa sampai kapan saja saya harus menjadi diri saya sendiri, dan saya tidak mau jadi seperti siapa pun. Sehingga, saya sangat sulit dipengaruhi oleh siapa saja karena saya sudah punya konsep hidup. Ini yang paling kuat tertanam dalam diri saya,” ujar Lens Haning.
 
Konsep hidup Lens Haning adalah bahwa dalam bekerja dia selalu meniru filosofi sifat-sifat ikan mas dan anak ayam. Maknanya jelas. Menurut Lens, “Ikan mas adalah jenis ikan air tawar yang hidup besar dan gemuk di air jernih. Tatkala digiring ke air keruh, ikan mas akan berusaha kembali ke air yang bersih (jernih). Sedangkan anak ayam, bermakna bahwa dia makan dari apa yang dia cari sendiri untuk mengisi temboloknya. Mencari apa-apa sendiri lalu dimakan, tetapi bukan mengambil milik orang lain. Jadi, sudah tertanam sikap kemandirian sejak kecil.”
 
Sikap dan konsep hidup Lens Haning sudah benar. Sebab, ketika orang tersebut tumbuh sejak kecil, remaja, hingga menjadi dewasa, dia harus memiliki jatidiri dan konsep hidup sendiri. Alhasil, tatkala dia ditempa oleh lingkungan masa lalu yang serba kekurangan dan kini pada akhirnya diberi amanah sebagai pemimpin daerah (Kepala Daerah), dia tampil sebagai pemimpin yang sederhana, jujur, berkarakter dan juga berpendirian teguh.
Labirin waktu terus berputar. 
 
Sekian lama berkarir sebagai PNS pada Dispenda Provinsi NTT, atasannya (Piet Tallo) tiada henti memotivasi Lens untuk belajar dan (harus) meneruskan pendidikannya. Lens yang ketika itu masih berijazah SMA tidak menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada di depan mata. Dia lalu mengajukan izin tugas belajar kepada atasannya itu. Tanpa banyak kesulitan, dia kemudian mengantongi izin tugas belajar untuk meneruskan kuliah ke Kampus STIKEN Surabaya, Jawa Timur. Selama sekitar tiga tahun bergelut dengan buku-buku teks kuliah, akhirnya pada tahun 1984 Lens Haning berhak menyandang gelar sarjana muda keuangan.
 
Lens lantas pulang ke Kupang, ibukota Provinsi NTT. Berkat peningkatan kualitas keilmuan itu, secara perlahan dan pasti karirnya mulai bersinar. Sejak 1985 misalkan, dia kemudian dipromosikan sebagai Kepala Seksi (Kasi) Tata Usaha Cabang Dispenda Wilayah Kupang. Jabatan ini dipegangnya hingga 1987. Berikutnya, dia ditempatkan lagi sebagai Kasi Penerimaan Dinas-Dinas Tingkat I Provinsi NTT, mulai 1987 sampai 1993. 
 
Selama mengemban amanah jabatan sebagai Kasi Penerimaan Dinas-Dinas Tingkat I Provinsi NTT inilah, Lens berpikir untuk menuntaskan kuliahnya yang saat itu baru sampai sarjana muda. Karena itu, di sela-sela tugasnya mengabdi sebagai PNS, dia kembali berinisiatif mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa pada Program Sarjana (S-1) Jurusan Tata Niasa Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Setelah melalui serangkaian tes, tanpa banyak kesulitan, dia diterima di Undana. 
 
Sejak itulah, hari-harinya diisi antara aktivitas belajar dan mengabdi sebagai PNS. Karena dia belajar dan mengabdi nothing to loose serta tanpa beban, tanpa terasa kuliah yang dilakoninya pun rampung. Berselang lebih dari setahun, tepatnya pada tahun 1990, Lens dapat bernafas lega. Mulai saat itu, dia boleh berbangga hati lantaran lulus dengan nilai memuaskan. Dan yang lebih membahagiakan lagi, dia berhak pula menyandang gelar sarjana strata satu (S-1/Drs) di depan namanya.
 
Melihat kondite dan kinerja Lens Haning yang bagus serta studi sarjananya yang telah tuntas, atasannya demikian terkesan. Maka, mulai tahun 1993, dia dipromosikan sebagai Kepala Cabang (Kacab) Dispenda Provinsi NTT Wilayah Belu. Jabatan ini dipegangnya sampai tahun 2000. Berikutnya, tahun 2000-2001, dia dipercaya sebagai Kacab Dispenda Provinsi NTT Wilayah Kupang. Selanjutnya, tahun 2001 sampai 2006, dia dipromosikan lagi sebagai Kepala UPTD Dispenda Provinsi NTT Wilayah I. Pada masa inilah (2001), Lens memutuskan untuk back to campus dan mengambil kuliah pada Program Studi Magister Manajemen (S-2) Unwira, Kupang. Tak seberapa lama, tahun 2003, dia diwisuda dan berhak mengandang gelar Magister Manajemen (S-2).
Kemudian, tahun 2006, dia kembali dipromosikan sebagai Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NTT.  Jabatan ini hanya dipegangnya selama dua tahun, tepatnya sampai tahun 2008.
Berkat berbagai anak tangga yang dilalui di ranah birokrasi (Dispenda dan Dinas Pariwisata Provinsi NTT), Lens Haning menjadi begitu matang dalam memimpin –terutama memimpin anak buah yang ada di bawah lembaga yang dipimpinnya. Sebuah perjuangan yang semakin mematangkan sikap bijak seorang Lens yang dapat dijadikan modal dalam mengarungi kehidupan selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar