Sabtu, 03 Januari 2015

Gereja: Tempat Kumpul-kumpul atau Institusi ? ...




Pertanyaan terbesar saya selama ini adalah gereja sebagai sebuah tempat pelayanan, dimana komisi-komisi kecil tersebut dibentuk untuk menyasar target-target tertentu (sekolah minggu, remaja, pemuda, dewasa, dll), apakah perlu untuk dikembangkan ? ...

Pertanyaan selanjutnya, mau dikembangkan menjadi apa ? Perencanaannya bagaimana ? Dan apakah langkah-langkah yang diambil untuk dapat mengembangkan sebuah gereja akan bentrok dengan norma-norma yang sudah lama ada di jemaatnya ? ...

Tidak usah jauh-jauh, tentu obyek riset  adalah gereja kita sendiri dan beberapa gereja teman-teman saya. Dan jangan dikira mudah, karena yang ingin saya ungkap adalah sesuatu yang tidak terlihat oleh mata. Bukan jemaatnya, bukan besar/kecilnya bangunan gereja, bukan para majelisnya, tapi bukti intangible tentang bagaimana gereja tersebut beroperasi, pesan-pesan yang beredar, hingga kegiatan pengambilan keputusan.

Atas Dasar Pelayanan
Ya, betul. Setahu saya, beda dengan profesi pendeta dan koster gereja, peran dalam kemajelisan sebuah gereja itu tidak dibayar. Semua dilakukan atas dasar pelayanan untuk Tuhan. Para majelis dan ketua komisi belum tentu dipilih berdasarkan kapabilitas atau talenta mereka, namun karena kesediaan mereka untuk melayani gerejanya. Bisa jadi – paling parahnya – adalah ketika sudah tidak ada orang lagi untuk bisa dimintakan tolong untuk menjadi pelayan Tuhan. Makanya tidak sedikit kita lihat para majelis di sebuah gereja yang dari tahun ke tahun itu-itu saja. Yaa..karena memang kekurangan SDM dan belum ada regenerasi.

Tidak adanya regenerasi bisa terlihat juga dari kegiatan gereja yang statis. Tidak tercermin kreativitas, tidak ada tantangan, dan tidak ada antusiasme. Nah apakah sebuah gereja boleh dicap seperti itu ? ...

“Ya tidak bisa dong. Itu khan pelayanan. Tidak boleh dinilai seperti itu.”
Apakah Anda setuju dengan ungkapan barusan? Jika iya, Anda butuh berdiskusi banyak dengan generasi-generasi yang lebih muda dari Anda. Jika tidak, mari kita bahas lebih lanjut..

Gereja sebagai Institusi
Tanpa kita sadari, sebetulnya gereja itu sudah menjadi sebuah institusi. Seberapa konvesionalnya sebuah gereja, pada saat di dalam tubuhnya terbagi-bagi ke dalam beberapa komisi, itu sudah bisa diartikan bahwa gereja sebagai sebuah institusi/korporasi/organisasi.

Kenapa bisa begitu ? ...
Karena di dalam kemajelisan, sudah ada pembagian kerja seperti Seksi Persekutuan, Pelawatan, Sekretariat, dll. Selain itu, untuk pemberitaan injil yang optimal, komisi-komisi di gereja juga dibagi-bagi menurut tingkat kedewasaan, seperti Komisi Anak (Sekolah Minggu), Remaja, Dewasa, Lansia, dll. Hanya saja, bedanya dengan organisasi atau perusahaan tempat Anda bekerja, gereja tidak memiliki SOP (Standard Operating Procedure), Reward & Punishment System, KPI (Key Performance Indicator), Measurement, dll. In a nutshell, gereja tidak memiliki Strategic Plan

Apabila alat-alat tersebut diaplikasikan di dalam sebuah gereja, maka dinilai akan dapat menghilangkan unsur ‘pelayanan’, yang – disinyalir – Tuhan kehendaki.

IMHO..
Kalau boleh saya analisa, kita butuh keduanya. Tuhan memberikan berkah yang membedakan kita dari makhluk lain, yaitu akal budi. Bila saya bilang bahwa gereja memerlukan alat-alat pengukuran perencanaan strategis, bukan berarti saya tidak beriman – well, saya serahkan kepada Anda yang menilai. Saya memiliki keyakinan bahwa, tidak hanya agama Kristen, tapi semua agama bertujuan untuk men-develop umat-umatnya untuk lebih bisa memahami segala macam berkat yang sudah diberikan oleh Tuhan dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dunia. Tidakkah Anda setuju dengan saya ?

 American Tringular Organizational Business Model
Mungkin selama ini gereja sudah memiliki Visi dan Misi; mau jadi apa dan menjadikan jemaatnya seperti apa. Nah, lalu apa yang harus dilakukan untuk dapat mencapai visi dan misi tersebut ? Di situlah letak perencanaan strategisnya. Kalau sudah tahu apa yang mau dilakukan, bagaimana kita dapat menyediakan ruang untuk pembelajaran dan pengembangan. Sederhana saja. Gunakan alat-alat analisa yang sudah saya sebutkan di atas. Saya jamin para pemimpin gereja akan lebih mempunyai gambaran yang jelas dan fokus di dalam proses menuju visi dan misi.

Gereja perlu mengganti mindset ‘yang-penting-ada’ untuk posisi-posisi penting di kemajelisan, bahkan sampai dengan komisi. Secara objektif pilih orang yang memiliki potensial untuk posisi tersebut.

“Tapi khan kita jadi tidak memberikan kesempatan bagi mereka yang ingin aktif melayani di gereja. itu artinya kita menutup kesempatan bagi orang lain!”

Apa iya ? Bisa kita juga lho kita buat development program. Jemaat kita berikan kesempatan untuk ikut dalam seminar, workshop, dan lainnya demi perkembangan diri mereka, yang saya rasa juga bisa berguna untuk pekerjaan dan kehidupan berorganisasi mereka.

Sekali lagi saya tekankan, saya sama sekali tidak ada keinginan untuk menjelek-jelekkan gereja. Saya merasa sebuah berkah yang luar biasa bagi saya untuk bisa berbagi suka dan duka dengan jemaat-jemaat di gereja saya. Tapi kita juga perlu sadari bahwa jaman telah berubah dan ajaran-ajaran Yesus yang berupa perumpamaan adalah merupakan hal-hal yang tidak habis dimakan jaman dan senantiasa applicable untuk menghadapi segala macam badai perubahan.

Pilihannya ada di kita; apakah kita mau tetap berpegang pada tradisi kuno gereja atau bersedia berputar otak sedikit untuk membuat ajaran-ajaran Tuhan applicable di jaman dan generasi yang senantiasa berubah ini.

Saya mohon maaf bila ada kata-kata saya yang menyinggung perasaan Anda. Mohon sadari bahwa setiap opini boleh berbeda dan interpretasi kita pun bisa variatif. Semoga tulisan ini boleh menjadi berkat. Amin.
God bless you..
 By : widydee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar