Pantai Makassar di Kabupaten
Alor saat itu dikusai oleh Portugis. Sepanjang pesisiran pantai di Pulau Alor
dinaikkan bendera putih.
Menurut Fredrik Pulinggomang,
S.Th, seorang tokoh masyarakat Alor dan Pendeta, bahwa pada tahun 1814 terjadi
persepakatan pembagian wilayah antara Portugis dan Belanda yang kemudian
disebut dengan Keputusan Leserborn. Keputusan itu membagi wilayah NTT menjadi
dua bagian wilayah kekuasan. Wilayah pertama yang meliputi mulai dari Sumba,
sebagian daratan Timor, Alor masuk daerah kekuasaan Kolonial Belanda, sedangkan
Plores dan sebagian Timor masuk dalam wilayahPortugis.
Berdasarkan keputusan itu maka
Belanda mulai menempatkan beberapa orang Belandes di Alor. Seorang diberikan
tugas sebagai Poskholder (penjaga pos), seorang yang lain sebagai menteri
pajak, dan satu komando pasukan. Mereka masuk pertama kali di suatu tempat yang
bernama Bang Atimang (sekarang bernama Alor Kecil), lalu berkedudukan atau
berdomisil di Pantai Makassar. (Dinamakan Pantai Makassar, sebab jauh
sebelumnya orang-orang Makassar sudah bermukim di daerah tersebut sebagai pelaut dan pedagang sambil membawa
ajaran-ajaran agama Islam, sampai saat ini komunitas mereka masih terdapat di
pantai tersebut, sebagai bukti keberadaan tersebut adalah berdirinya sebuah balla lompo di salah satu tempat di Alor
Kecil)
Lalu tahun 1900, orang Kristen
mulai masuk ke daerah ini. Orang tersebut bernama Mingga dan Heo. Kedua orang
tersebut dibuang oleh Belanda ke daerah Alor. Keberadaanya mungkin dikibatkan
karena adanya ekses di Rote yang mengakibatkan Belanda membuang mereka ke
daearah Alor. Mingga dan Heo, penganut agama Kristen (masuk
dalam zegi pastoral, karena imam mereka tidak terlepas dari umat Kristeani).
Mereka merupakan tahanan Belanda yang dibuang ke Alor. Pembuangan mereka ke
Alor mungkin disebabkan oleh karena Alor saat itu dikenal memiliki
kondisi alamnya terjal, bergunung dan lain-lain sebagainya. Selain itu di
wilayah ini masih sering terjadi konflik antar suku, karena mereka masih
percaya kepada agama suku. Kedua orang itu juga masuk melalui Bang Atinang dan
berdomisili di Pantai Makassar.
Penduduk asli Alor yang
menganut kepercayaan suku bermukim di gunung-gunung. Sesekali mereka turun ke
Pantai Makassaar, untuk berbelanja terutama pada hari pasar. Mereka saat itu
berkomunikasi dan bergaul serta bertransaksi jual beli dengan para masyarakat
pendatang terutama komunitas Kristen. Karena orang-orang Kristeani kuat dalam
zegi pastoral dan sosiologi, maka tidak sedikit di antara penganut agama suku
yang simpati kepada mereka dan beralih untuk memeluk agama Kristen.
Zegi Pastoral yang dibuat oleh
Mingga dan Heo akhirnya paham bahwa tidak hanya kaum Kristeani yang bergaul akrab dengan mereka akan tetapi penganut Agama
Islam pun demikian, maka Zegi Pastoral kemudian tidak tinggal ditempat. Mereka
memulai untuk menjajaki para penduduk asli penganut keparcayaan suku di
gunung-gunung. Merekapun jalan naik ke gunung-gunung bertemu dengan orang
tua-tua dan anak–anak mereka.Komunikasi berjalan dengan baik dan akhirnya
merekapun bersahabat dengan masyarakat pegunungan itu. Zegi Pastoral besahabat
dengan para orang tua, demkian halnya dengan anak-anak mereka.
Sehingga, pada tahun 1905
anak-anak penduduk asli penganut agama suku tersebut dibina di Pantai Makasar.
Pembinaan itu bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran
Kristen. Pada saat itu sistem pendidikan dibagi kepada tiga. Sistem pertama adalah
pendidikan umum: upaya untuk mengajarkan kepada anak-anak tersebut huruf, kedua
pembinaan doktrin gererja: memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran Kristen,
dan ketiga mereka berbakti bersama dalam membaca Alkitab, berhotbah, bernyanyi
dan lain-lain. Tiga sistem pendidikan tersebut digabung , yang saat itu dikenal
dengan Sunday Scholl (sekolah minggu itu saat ini berubah menjadi sekolah umum,
karena daerah Alor Kecil saat inidimukimi oleh mayoritas penganut agama
Islam.).
Pada tahun 1910 Belanda pun mulai mengirim lagi seorang yang
lain, pendeta yang namanya Wallem Buch. Pengiriman
tersebut dilakukan karena menurut penelitian bahwa orang-orang gunung sudah
banyak yang percaya kepada Agama Keristen. Sehingga pada tahun yang sama Walem
Buch mengadakan pembabtisan massal di suatu tempat, namanya Belolo. Pada tahun yang sama pula sebuah sekolah dibuka di
Belolo. Sekolah tersebut merupakan pemisahan dari Sunday School yang didirikan
sebelumnya. Jadi sekolah umum yang mengajarkan tentang baca tulis huruf mulai
dipisahkan dengan sekolah minggu yang mengajarkan tentang ajaran-ajaran
Kristen. Pada tahun 1911, sebuah sekolah umum lagi dibuka di Alor Kecil (Bang
Atinang). Pada tahun yang sama, kapal Conopus (kapal Belanda,
Kapal Putih), berlabu di Alor Kecil dan saat itu Babtisan massal kedua oelh
Wallem Buch lagi.
Pemerintah Belanda pun mulai
memperhatikan perkembangan Pulau Alor ke depan. Ia mencari jalan keluar untuk
membuat suatu kota. Akan tetapi kenyataan alam yang tidak mendukung,di Belolo
dan Alor Kecil keadaan pantai dapat dibuat pelabuhan akan tetapi keadaan
daratan tidak mendukung, sebab kondisinya pengunungan. Akhirnya kota pun
dikembangkan atau dipndahkan ke Kalabahi. Pemindahan kota tersebut terjadi pada tanggal 5 Mei 1911.
Saat kota dibuka, sekolah-sekolah dan gereja-gereja
pun juga dibuka oleh Belanda. Keadaan sistem pendidikan saat itu mulai
terpisah. Gereja dibuka tersendiri, sekolah-sekolah umum pun melaksanakan
sistem pendidikannya, demikian halnya dengan Sunday School dengan sistem
pendidikan yang berbeda. Kebaktian umumpun telah dilakukan. Sedangkan gereja
Adam dibuka pada tahun 1917.
Sebetulnya keputusan Belanda
tentang penggalakan dibidang pendidikan dan keagamaan dimulai sejak tuhun 1911, dengan instruksinya untuk membuka
sekolah dan gereja di seluruh daerah ini. Tetapi karena situasi alam Pulau Alor
yang kurang mendukung, gunung terjal yang mesti ditempuh melalui jalan
kaki, menyeberangi atau menghadapi gelombang laut
dengan perahu layar, maka realisasinya dilakukan dalam waktu yang berbeda.
Guru pengajar pun mulai
bertambah. Di awal pelaksanaan pendidikan ini, beberapa guru umum yang sebagai
guru agama dan penginji di gunung-gunung. Namun beberapa waktu kemudian mulai
ada bantuan guru dari daerah lain antara lain dari Daratan Timor, dan Manado,
Sulawesi. Mereka mengajar masyarakat untuk mengenal Allah, dan alam adalah
kepunyaan Tuhan yang mesti dikuasai.
Perkembangan selanjutnya,
motivasi penduduk Pulau Alor untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan bangkit.
Beberapa di antara mereka melanjutkan pendidikan di luar Pulau Alor,
diantaranya di Kupang, Jawa dan Sulawesi.
(by.
badruzzaman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar